Ketika kegiatan perkuliahan sedang berjalan, Campbell Place adalah satu titik paling ramai di kampus University of Queensland (UQ), St Lucia. Ia menjadi lokasi persimpangan di mana mahasiswa dan staf universitas lalu-lalang dari dan menuju berbagai penjuru kampus. Tak heran, banyak kegiatan ekstrakurikuler yang dilakukan di area terbuka yang telah diperkeras itu. Pada saat pemilu mahasiswa, tim sukses dari masing-masing kubu akan mempromosikan kandidat masing-masing di tempat itu. Atau kadang terlihat juga beberapa mahasiswa berjualan daging barbecue untuk membiayai kegiatan organisasinya. Setiap hari Rabu, lokasi itu menjadi bazaar mini tempat sejumlah pedagang menggelar dagangan mereka.
Dari kejauhan, saya melihat sekilas mahasiswi kulit putih berambut pirang itu. Di salah satu sudut Campbell Place, ia berdiri di samping sebuah meja. Penampilannya tidak berbeda dengan mahasiswi Australia kebanyakan. Ia mangenakan blus terusan hitam selutut, tanpa lengan. Di lehernya ada sehelai kain semacam selendang atau pashmina. Tak lupa kacamata hitam untuk mengantisipasi terangnya paparan sinar matahari yang tak kenal musim. Di kedua tangannya terangkat selembar kertas tebal layaknya peserta unjuk rasa. Kepada setiap orang yang melewatinya, ia menyapa ramah dan mengajak berbincang jika mereka berkenan.
Saya, yang sedang melintasi Campbell Place bersama seorang rekan, semula hendak melewatinya begitu saja. Namun, niat itu berubah seketika tatkala dari dekat saya melihat bahwa sehelai kain di leher perempuan itu bukanlah pashmina biasa, melainkan kafiyeh! Ya, kafiyeh yang seringkali dipakai sebagai penutup kepala pria Arab dan berpadu dengan gamis putih. Kafiyeh yang semakin populer karena selalu terlihat membalut kepala Yasser Arafat, mantan pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Kafiyeh yang juga menjadi simbol perlawanan rakyat negeri itu melawan penjajahan Zionis.
Tulisan pada kertas yang dipegangnya pun terbaca jelas oleh saya, “Students Free for Palestine”. Apakah ini organisasi mahasiswa yang menyuarakan dukungan kemerdekaan untuk negeri yang rakyatnya terusir itu? Kami berdua pun menghampirinya. Senyumnya terkembang ramah.
“So, it is an organization supporting Palestinian independence?” pertanyaan itu saya lontarkan padanya.
Ia pun menjelaskan secara garis besar perkumpulan yang diikutinya. Sebenarnya Students Free for Palestine bukan organisasi formal, melainkan sekadar perkumpulan mahasiswa dari berbagai universitas yang turut mendukung perjuangan bangsa Palestina, tentu saja tanpa melihat latar belakang warna kulit, kewarganegaraan, maupun agama.
“So how can I get informed about your activities?” tanya saya lagi.
“Just write down your name and your email address here; and I will invite you to join our mailing list,” jawabnya sambil menunjukkan kertas di atas meja di sampingnya. Kami pun menuliskan nama dan alamat email, lalu mengucapkan terima kasih dan berlalu. Sementara ia melanjutkan tugasnya, menyapa setiap orang yang lewat dan mengajak mereka berbincang dan memberikan sebagian perhatian pada nasib Palestina.
Pertemuan singkat dengan mahasiswa Australia ber-kafiyeh itu memperkaya perspektif saya, bahwa kisah tentang Palestina hari ini bukan lagi semata isu kesukuan, isu nasionalisme, ataupun isu agama. Perempuan muda itu menjadi salah satu contoh yang demikian nyata. Ia jelas bukan orang Arab, bukan bangsa Palestina, bukan Muslim, dan tumbuh besar di tengah peradaban Barat. Namun kepeduliannya terhadap negeri yang masih tertindas itu justru demikian besarnya.
Semakin hari semakin terasa bahwa isu Palestina adalah isu kemanusiaan, dan layak dipikirkan oleh setiap orang dari beragam latar nelakang. Saya yakin, nalar manusia modern tidak bisa menerima perlakuan tidak adil yang dihadapi rakyat Palestina bertahun lamanya. Alur pikir insan terpelajar tentu pula tidak pernah habis mempertanyakan bagaimana rakyat yang mendiami suatu negeri suatu negeri justru terusir dari rumah mereka sendiri, kemudian hidup terlunta-lunta di negeri-negeri tetangga tanpa kejelasan nasib. Sementara upaya mereka beroleh kemerdekaan penuh masih saja menghadapi cabaran yang entah kapan menemui penghujungnya.
Saya rasa, keinginan kita sederhana saja. Kita ingin rakyat negeri yang masih terjajah itu tahu, bahwa mereka tidak sendirian berjuang. Masih ada banyak manusia yang peduli. Masih ramai anak manusia yang ingin berkontribusi dengan bermacam cara, meski dengan “sekadar” berkalung kafiyeh dan mengajak berbincang orang lewat seperti yang dilakukan seorang perempuan muda Australia di sudut Campbell Place.
Leave a Reply