Di salah satu sudut Depok, saya menyimak tayangan BBC Earth bertajuk “Great Asian Railway Journeys” dengan Michael Portillo sebagai presenter-nya. Dalam sekian episode tayangan dokumenter tersebut, Michael menyusuri jalur-jalur kereta api di enam negara Asia, melongok kota-kota yang dilalui jalur-jalur tersebut, dan mengajak audiens berefleksi tentang sejarah dan budaya dari etnis atau bangsa yang mendiaminya.
Tak lupa Michael menginjakkan kaki di Pulau Jawa. Disambanginya kota-kota yang dilalui oleh jalur rel tua yang dibangun dari zaman pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, termasuk Jakarta. Dalam salah satu momen pengambilan gambar, saya melihat dia berdiri di seberang Patung Arjuna Wiwaha (Patung Kuda) di barat daya Lapangan Monas, berlatar belakang lalu lintas Jakarta yang padat di tengah hari.
Di situ Michael melontarkan beberapa baris kalimat yang cukup membekas. Tentu saya tidak ingat kalimat persisnya secara verbatim, namun lebih-kurang dapat saya rangkum seperti ini (dalam bahasa Indonesia), “Melihat Jakarta hari ini, barangkali Anda tidak hendak mengasosiasikannya sebagai ‘the Jewel of Asia‘ sebagaimana julukan Batavia di masa lampau. Namun, kota ini adalah salah satu kota yang tercepat pertumbuhannya; dan dari kepala-kepala di balik helm para pengendara sepeda motor ini, terpancar harapan dan optimisme.”
Kalimat Michael tersebut seakan mengafirmasi cara pandang saya dalam melihat sesuatu: melihat sisi positif, namun tanpa lupa bahwa ada sesuatu yang kurang di sana. Hal ini pula yang membantu saya untuk cepat move on setelah bertahun-tahun tinggal di sebuah negara maju (di mana tiga tahun di antaranya tanpa pulang sama sekali ke Tanah Air!) dengan segala keteraturan lingkungannya, kebersihan udaranya, dan keunggulan transportasi publiknya; pun kalem dan tidak grusa-grusu ritme kesehariannya.
Menjadi bagian dari hiruk-pikuk Ibu Kota, suka tak suka saya harus mengakrabi segala hal yang melekat padanya. Polusinya, macetnya, semrawutnya, hectic-nya, serbacepat ritme kesehariannya, sesak angkutan umumnya, dan seterusnya. Tak pandang siapa pun gubernurnya. Kalau menuruti emosi, apa-apa yang terjumpai di depan mata sudah lebih dari cukup untuk mengutuk hal-hal kurang menyenangkan dari kota yang dulu juga berjuluk “the Queen of the East” ini. What a sucky quality of life, begitu kira-kira.
Namun, sejatinya tetap ada banyak hal positif yang bisa dipetik di balik situasi yang terkadang kurang menyenangkan. Di tengah padatnya kendaraan yang lalu-lalang serta konstruksi pembangunan di berbagai penjuru kota, saya merasakan roda ekonomi berputar dan nadi kehidupan berdenyut. Menyaksikan warga setempat menjalani hari-hari, saya melihat dari wajah mereka asa yang menyala, semangat yang terpatri kuat, dan rasa optimis yang tak terkikis. Bahkan ketika situasi terasa sulit; kala beban demikian menghimpit; tatkala negara terkadang baru bisa hadir sekelumit.
Sekali lagi, perspektif semacam ini sama sekali tidak untuk mengesampingkan pentingnya upaya perbaikan. Ia juga bukan pengejawantahan sikap positif yang naif. Bagaimana pun, perkara-perkara semacam macet, polusi, semrawut, kesejahteraan sosial, dan sederet isu urban lainnya adalah pekerjaan rumah yang menunggu untuk dibereskan. Dan di tengah gempuran fakta pahit yang masih demikian stubborn menghiasi keseharian di Ibu Kota, mutlak diperlukan sebuah cara pandang yang memungkinkan saya tetap optimis, waras lahir-batin, dan tegar melanjutkan amanat kehidupan…
Leave a Reply