Posted by: Salim Darmadi | 3 February 2023

Jelang Perpisahan Dengan Rumah Keempat

Home is where the heart is,” demikian orang bilang. Dan buat saya, hati akan merasa terkoneksi dan attached dengan tempat-tempat yang pernah saya tinggali selama beberapa lama, dan tempat-tempat itu pun kemudian mewujud sebagai rumah. Rumah pertama tentulah Kediri, tempat saya lahir, tempat orangtua saya tinggal, dan tempat saya melewatkan delapan belas tahun pertama kehidupan.

Lalu Jabodetabek, metropolitan yang menjadi tempat saya berkuliah pertama kali, lalu memasuki fase bekerja, menikah, dan membina rumah tangga. Kemudian Brisbane (yang pernah saya diami selama dua tahun untuk kuliah jenjang Master) menjadi rumah ketiga. Akhirnya, sebagai kota tempat saya menjalani petualangan doktoral selama nyaris empat tahun, maka Sydney pun resmi menjadi rumah keempat.

Sejak pertama kali tiba di Sydney, saya sadar sepenuhnya bahwa masa saya di Harbour City ini hanyalah untuk sementara. Bahwa takdir saya adalah kembali ke Tanah Air dan meneruskan kiprah di sana. Namun tetap saja, setelah empat tahun, segala hal tentang Sydney sudah membuat hati merasa terpaut dengannya. Bahwa meninggalkan kota ini, for good, ternyata tidak seringan yang saya bayangkan.

Tempatnya, orang-orangnya, kenangan demi kenangan di dalamnya, serta memori demi memori yang terekam di sana, rasanya demikian lekat. Meski tidak melulu perjalanan saya di sini bertabur kemudahan dan kegemilangan, ada sebentuk rasa yang sulit dijabarkan kala menyadari bahwa tiba jua saatnya episode Sydney ini harus lewat.

Saya akan merindukan tempat tinggal saya selama tiga tahun di sudut Campsie di barat daya Sydney. Jalan utamanya yang sudah mulai menggeliat sibuk di subuh hari. Toko-toko grocery Indonesia maupun Asia yang menjadi langganan kami. Supermarket tempat saya membungkus sekilo apel Royal Gala, sekotak muesli bar favorit, atau sebongkah roti brioche untuk sarapan pagi. Taman-taman publik dan trotoar permukiman sekitar tempat tinggal yang menjadi jalur lari saya di pagi ataupun sore hari. Hingga pemandangan sepanjang rel kereta ataupun jalur bus yang menjadi penghias aktivitas commuting saya dari Campsie menuju kampus di area City.

Pastinya suasana kampus, yang insyaallah beberapa bulan lagi resmi menjadi almamater saya, menjadi satu hal lain yang ngangeni dari Sydney. Gedung menjulang tinggi UTS Tower (yang dipelesetkan sebagai “Ugliest Tower in Sydney“) bersanding dengan gedung-gedung baru yang sedap dipandang dan memenangkan aneka penghargaan. Perpustakaan dan ruang kerja mahasiswa doktoral tempat saya mumet berjibaku dengan riset PhD saya. Ruang-ruang kelas dan auditorium tempat saya menyerap beragam ide dan insight dari matakuliah, seminar, ataupun simposium ilmiah yang saya hadiri. Musala mungil di pojok lantai lima yang menjadi lokasi rehat spiritual saya di tengah jam ngampus. Kafe-kafe di dalam kampus maupun di sekitar kampus yang menguarkan aroma kopi nan harum dan menggoda setiap pagi. Juga food court di lantai dasar yang menjadi tujuan saya ketika jam santap siang tiba.

Belum lagi tempat-tempat lain yang sering saya sambangi di sepanjang episode empat tahun saya di kota ini. Ada kawasan City alias CBD nan kosmopolit dengan kesibukan khas metropolitannya. Area di sekitar Opera House dan Harbour Bridge, dengan pemandangan memesona kelas dunia yang seakan tak pernah gagal membuat saya berdecak kagum. Restoran-restoran yang menawarkan kenikmatan citarasa kuliner karya manusia dari berbagai penjuru dunia. Taman nasional hingga kawasan hijau di tepian Sydney Harbour tempat saya “lari ke hutan lalu belok ke pantai”, dengan mata dimanjakan oleh pemandangan nan elok bukan main. Hingga masjid-masjid yang bertebaran di berbagai penjuru kota tempat saya membenamkan diri dalam ibadah ritual maupun aktivitas keagamaan.

Tidak hanya soal tempat. Manusia yang saya jumpai di Sydney juga turut menjadi elemen yang akan saya rindukan satu hari nanti. Saya memutuskan untuk menempuh studi PhD di UTS Sydney, alasan utamanya tentu karena di kampus dan kota inilah kedua profesor pembimbing saya berkedudukan. Dalam hal aktivitas akademis, saya menyerap banyak ilmu, hikmah, dan pembelajaran yang teramat berharga dari profesor pembimbing, dosen-dosen akademisi satu departemen, maupun narasumber yang diundang untuk berbagi ilmu. Tak lupa ada sekian banyak kolega sesama kandidat doktor, baik satu fakultas ataupun lintas fakultas, yang dengan mereka saya berbagi cerita, bertukar gurau-canda, dan saling menyuntikkan motivasi demi perjuangan panjang studi doktoral yang demikian menantang dan menguras sunber daya.

Namun empat tahun di sini, keseharian saya tentu tidak melulu terkait riset dan ragam-rupa aktivitas akademis. Alhamdulillah saya berkesempatan berkenalan dan kemudian tergabung dalam berbagai circle dan jejaring, khususnya dengan sesama anak bangsa di Negeri Kanguru. Saya tenggelam dalam berbagai kegiatan komunitas mahasiswa Indonesia, baik sekampus, antarkampus, maupun antarnegara bagian. Saya lumayan aktif berorganisasi dalam bidang-bidang yang terkait minat saya, baik dengan pelajar maupun komunitas diaspora Indonesia di sini. Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana anak bangsa yang menjadi diaspora di Tanah Koala ini memperjuangkan masa depan yang lebih baik untuk anak-cucu mereka. Saya pun menjalin banyak hubungan pertemanan dan persahabatan baru di sini; serta menikmati beragam momen, pertemuan, dan aktivitas yang tercipta darinya.

Dan akhirnya, momen demi momen yang saya lalui sepanjang empat tahun di sini terekam dengan baik dalam memori. Peristiwa demi peristiwa yang memperkaya, menempa, dan menguatkan. Ada susah dan senang, ups and downs, highs and lows. Tak terlupakan oleh saya naik-turunnya progress riset doktoral saya, tantangan demi tantangan dalam berkomunitas dan berorganisasi, hingga riak-riak dan ujian kehidupan yang sesekali muncul. Namun di balik itu, Tuhan mengurniakan berbagai momen indah yang teramat berarti. Baik itu berupa sebuah penemuan ilmiah, serangkaian ilmu dan pengalaman berharga, jalan keluar dari permasalahan, ide-ide cemerlang, hingga canda-ria dan gelak-tawa bersama kawan. Segala peristiwa yang saya lalui, mulai dari petualangan akademis, membina rumah tangga, merawat jalinan persahabatan, hingga sederet upaya berkontribusi untuk komunitas, tak pelak akan menjadi sumber kerinduan dari sepenggal fase kehidupan yang saya jalani di Harbour City.

Empat tahun akhirnya berlalu sudah. Episode Sydney saya pun mencapai titik penghujungnya. Buat saya, menjalani empat tahun kehidupan di Sydney, dengan berbagai dinamikanya, adalah sebuah karunia yang luar biasa. Maka ketika saya sampai di titik ini, dan bisa tersenyum kala melakukan kilas balik perjalanan empat tahun ke belakang, sungguh semuanya semata karena kemurahan dan kebaikan dari Sang Maha Pemilik Kehidupan. Alhamdulillaah alladzii bini’matihi tatimmush shaalihaat

Dari kaca jendela kamar di lantai tujuh di seputar Darling Harbour, saya sapukan pandang ke arah pusat kota Sydney yang diselimuti malam. Tampak kelap-kelip lampu gedung pencakar langit dan jalanan kota; berikut lalu-lalang kendaraan serta kesibukan warganya yang nyaris tanpa jeda. Ah, Sydney…

Sudah tiba saatnya saya mengepak barang untuk bersiap kembali ke Tanah Air esok hari. Ada ibunda dan keluarga yang menanti. Ada amanat dan fase selanjutnya yang menunggu untuk dijalani.

Beragam perasaan campur-aduk saat ini. Saya pun membisikkan serangkaian kalimat untuk diri sendiri, “Berkemaslah, sudah waktunya kini. Episodemu di kota ini telah berakhir di sini. Saatnya engkau pergi, bersiap mempersembahkan yang terbaik pada peran apa pun yang diamanatkan kepadamu nanti…”

 

Sydney, 13 Januari 2023

 


Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Categories

%d bloggers like this: