Pagi ini saya memesan secangkir Belgian chocolate panas di sebuah kafe di salah satu sudut George Street, di jantung kota Sydney. Sudah berkali-kali mencoba cokelat panas di berbagai kafe di kota ini, lidah saya (disclaimer: ini lidah yang cuma tahu dua kategori makanan, yaitu “enak” dan “enak banget”) menyimpulkan bahwa cokelat panas racikan kafe Belgian chocolate satu ini adalah enak pakai banget.
Di satu sisi, cokelat Belgia menunjukkan kepiawaian anak manusia di negeri selatan Belanda itu. Mereka mampu menghasilkan produk yang demikian lezat dan berkualitas tinggi semacam cokelat panas yang saya pesan pagi ini, sementara bahan bakunya (biji kakao) sama sekali tidak bisa tumbuh ataupun dibudidayakan di negara mereka. Dengan bahan baku yang harus 100% diimpor dari negeri-negeri tropis nan jauh, mereka berhasil mengubahnya menjadi produk bernilai tambah tinggi, sehingga terminologi Belgian chocolate pun menjadi demikian tersohor di berbagai penjuru bumi.
Namun di sisi lain, sejarah di balik cokelat Belgia tidak semanis citarasanya. Ada kisah teramat pedih di baliknya. Ya, harus diakui bahwa sejarah perkembangan industri cokelat Belgia berkelit-berkelindan di atas genangan darah rakyat Kongo di Afrika Tengah. Silakan googling saja “King Leopold II brutality in the Congo“, niscaya akan Anda dapati serangkaian cerita dan potret memilukan. Tentang budidaya karet dan kakao di bumi Kongo pada masa penjajahan negeri itu oleh Belgia. Tentang pembunuhan dan mutilasi tangan terhadap kaum jelata Kongo yang gagal memenuhi target yang ditetapkan oleh si penguasa tiran dari utara.
Bergeser sedikit ke tetangga Belgia, saya pun teringat akan permintaan maaf yang disampaikan oleh Perdana Menteri Mark Rutte dari Belanda pekan lalu, di bulan penghujung tahun 2022. Apologi atas praktik perbudakan di masa silam yang terentang dua setengah abad di negeri-negeri jajahan. Memang, sebagian orang bisa saja berkilah bahwa itu adalah perbuatan nenek moyang dan tidak ada sangkut-pautnya dengan pemerintahan sekarang. Namun, luka menganga akibat kekejaman tak berperikemanusiaan itu seringkali masih terasa perih, terwariskan dari generasi ke generasi bahkan hingga sekian abad kemudian.
Lalu saya mendapati sebuah berita dari pertengahan tahun 2020. Raja Philippe dari Belgia menulis sepucuk surat kepada pemimpin Republik Demokratik Kongo, mengungkapkan penyesalan terdalam atas perlakuan dan penindasan dari pemerintah Belgia terhadap masyarakat Kongo di masa lampau. Ini menjadi permintaan maaf pertama dari seorang pemegang takhta kerajaan Belgia, mengikuti sederet pernyataan apologi yang telah disampaikan sebelumnya oleh parlemen dan perdana menteri negeri berjuluk “Battlefield of Europe” tersebut.
Tampak serangkai gerbong trem berjalan pelan di jalurnya di George Street, persis di depan kafe tempat saya duduk terpaku. Saya pun menyesap perlahan secangkir cokelat panas Belgia yang lezat itu. Tanpa lupa akan duka-nestapa rakyat Kongo di bawah tirani imperialisme penguasa Belgia di masa lalu…
Leave a Reply