Posted by: Salim Darmadi | 4 February 2015

Kisah Pekerja Kerah Biru

carpet-2Menjelang tengah malam, bus Brisbane Transport bernomor 412 yang menghubungkan St Lucia dan pusat kota Brisbane ini demikian lengangnya. Selengang jalanan yang dilaluinya. Hanya ada segelintir penumpang, termasuk saya yang duduk sambil terkantuk. Saya turun di salah satu halte yang terletak di tepi jalan Coronation Drive yang terbentang sejajar dengan aliran Sungai Brisbane. Saya menyeberangi jalan itu, lalu masuk ke sebuah restoran yang berdiri persis di tepian sungai, sebuah bangunan berbentuk panggung dengan tonggak-tonggak beton yang terpancang di bantaran.

Restoran itu sudah gelap, karena sudah tutup beberapa jam lalu. Namun beberapa lampu di dalam ruangan tampak sudah menyala, yang menjadi pertanda bahwa penyelia saya sudah datang. James, begitu saya dan rekan-rekan memanggilnya.

Hi James, how are you?” sapa saya kepada lelaki tua berumur mendekati tujuh puluh itu.

I’m pretty tired, mate. I’ll sleep now, and I’ll join you later, okay?” jawabnya dengan aksen Australia yang pekat. Tubuh rentanya bergerak menuju salah satu sudut ruang utama restoran. Terlihat bayang-bayang tubuhnya yang membesar di remang cahaya. Disusunnya beberapa kursi secara berderet, lalu direbahkannya tubuhnya di atas kursi-kursi itu.

Saya bergegas menuju dapur. Beberapa waktu lalu James sudah mengajari saya bagaimana melaksanakan pekerjaan ini. Di sudut dapur, saya membuka janitor dan mengambil alat-alat yang saya perlukan. Ember, sapu, tongkat pel, kain lap, penyedot debu, dan cairan pembersih. Saya pun mulai bertugas, dengan jam kerja mulai dari tengah malam hingga terbit fajar nanti. Saya harus membersihkan dapur restoran yang bukan main kotornya setelah dipakai seharian, dilanjutkan dengan ruang kantor dan kamar kecil. Tugas terakhir saya sebelum pulang adalah menyedot debu karpet di ruang utama restoran yang cukup luas.

Memasuki libur musim panas pertama saya di Negeri Kanguru, saya mencari pekerjaan untuk mengisi waktu sekaligus mendapatkan tambahan penghasilan. Alhamdulillah, jaringan yang kuat di kalangan mahasiswa Indonesia di Brisbane memungkinkan saya mendapatkan pekerjaan ini. Tentu saya tidak berharap banyak bahwa saya akan mendapatkan pekerjaan kerah putih sebagaimana keseharian saya di Tanah Air sebelum berangkat ke Australia. Saya kini bergabung dengan ratusan atau bahkan ribuan mahasiswa di kota ini yang bekerja paruh-waktu sebagai pekerja kerah biru, tepatnya sebagai tenaga kebersihan (cleaner) sebuah restoran.

Saya masuk bekerja tiga kali dalam seminggu. Karena bekerja dari tengah malam sampai fajar, jam biologis saya pun berubah. Pulang bekerja, saya akan tidur lelap hingga menjelang tengah hari. Demikian yang saya jalani selama dua setengah bulan libur musim panas, sambil mengupayakan agar perkuliahan semester pendek yang sedang saya jalani tidak terganggu oleh kesibukan membanting tulang.

Laksana seonggok gula, Negeri Kanguru disemuti manusia dari berbagai penjuru bumi dengan beragam maksud, mulai dari melanjutkan perjuangan bertahan hidup ataupun mengembangkan keahlian. Tak heran, jangankan untuk pekerjaan kerah putih, untuk mendapatkan pekerjaan kerah biru sekalipun akan kau jumpai persaingan yang ketat di sana. Mahasiswa asing, karena diperbolehkan bekerja maksimal dua puluh jam per minggu, pun berlomba-lomba meraih kesempatan. Karena bukan merupakan pekerjaan dengan keahlian khusus, koneksi dan jaringan menjadi senjata yang cukup dapat diandalkan. Ketika satu pekerjaan sudah diraih, semua atribut dan prestise yang pernah didapat di Tanah Air pun harus ditanggalkan dulu. Rekan-rekan mahasiswa Indonesia yang bekerja paruh waktu, serta suami atau istri mereka, juga berasal dari aneka latar profesi di Tanah Air, mulai dari dokter gigi, pegawai negeri, manajer perusahaan, hingga dosen.

Saya perlahan memahami, rekan-rekan yang memutuskan dan rela menjadi pekerja kerah biru ini pun menyimpan motivasi yang beragam pula. Bagi mereka yang masih lajang seperti saya waktu itu, tambahan dolar yang dihasilkan akan digunakan untuk sekadar menambah uang tunjangan beasiswa yang ada, atau untuk merealisasikan setumpuk rencana seperti persiapan menikah dan menghajikan orang tua. Dengan kata lain, bekerja untuk melangkah lebih dekat menuju realisasi dari mimpi-mimpi yang selama ini menghiasi benak.

Namun, sungguh saya harus belajar banyak dari mereka yang mengambil keputusan meniti karir yang terbilang “tanpa prestise” ini sebagai wujud tanggung jawab yang terbebankan di bahu mereka. Tanggung jawab sebagai orang tua, sebagai suami, atau sebagai anak. Saya kerap termangu menyimak kisah sebagian dari mereka. Ada kawan-kawan yang memboyong keluarganya ke Australia. Dengan beasiswa terbatas dan biaya hidup tinggi, mau tak mau penghasilan tambahan harus diperoleh. Setelah seharian berjibaku dengan rutinitas di kampus sebegai mahasiswa, tengah malam mereka kembali memulai aktivitas sebagai pekerja. Rekan-rekan lainnya ada yang telah menikah, namun keluarganya tetap di Tanah Air. Meskipun uang beasiswa terbilang lebih dari cukup untuk biaya hidup seorang diri, mereka tetap mengupayakan tambahan dolar dengan harapan dapat menumbuhsuburkan cita-cita yang telah mereka semaikan dalam keluarga kecil mereka. Ada pula sahabat yang bekerja paruh waktu untuk menunaikan baktinya sebagai anak. Secara berkala, dikirimnya sejumlah uang ke Tanah Air untuk membantu orang tuanya agar terbebas dari belitan utang.

Dari beragam motivasi ini, saya menarik benang merah bernama cinta dan pengharapan. Susah-payah dalam bekerja menjadi perlambang cinta untuk orang-orang terkasih. Dari pengamatan saya pada banyak kawan di perantauan ini, penat setelah bekerja sepertinya terbayar begitu saja ketika mendapati keluarga dalam keadaan sehat, anak-anak dapat belajar dan bermain dengan riang, atau ketika kebutuhan keluarga relatif dapat tercukupi meski tanpa “kemewahan” yang bisa didapat di Tanah Air. Kemauan untuk berletih-letih bekerja juga merefleksikan pengharapan untuk masa depan yang lebih baik, ketika mimpi berhasil direalisasikan. Karena itu, saya berusaha sebisa mungkin tidak mengeluh manakala harus berhadapan dengan sisa-sisa bahan masakan di dapur yang susah dibersihkan, atau ketika harus membersihkan kloset yang sepertinya baru digunakan oleh orang yang tidak tahu etiket menggunakan toilet.

Hari sudah terang ketika saya meninggalkan restoran itu. Sinar mentari musim panas mengiringi langkah-langkah saya ke perhentian CityCat, untuk kembali ke kamar tidur mungil saya yang nyaman. Badan serasa rontok, sementara beberapa jam lagi saya harus menghadiri kuliah semester pendek. Saya mengingatkan diri sendiri. Sekali lagi ini menjadi pembelajaran yang berharga untukmu. Untuk menggapai satu cita-cita, kau tidak bisa menuntut jalan yang kautempuh akan serba mudah.

[Gambar diambil dari sini]


Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Categories

%d bloggers like this: