Posted by: Salim Darmadi | 30 June 2022

Two Worlds in the Middle of Nowhere

Tiga hari kami lewatkan di Alice Springs, sebuah kota kecil di negara bagian Northern Territory. Di tengah-tengah Benua Kanguru. Seorang penduduk lokal yang sempat berbincang dengan saya sampai berkata begini, “Adelaide is 1,500 km to the south and Darwin 1,500 km to the north, so we are literally in the middle of nowhere!”

Dari penampakan kotanya, Alice tak jauh berbeda dengan kota-kota kecil Australia lainnya yang pernah saya kunjungi. Jalan-jalan lebar dan lengang yang sama. Keteraturan yang sama. Jaringan ritel (Woolworths, Coles, dan Kmart) yang sama. Bentuk pusat kota yang sama. Yah, meskipun transportasi umum tak terlalu bisa diandalkan. Barangkali perbedaan yang cukup mencolok adalah komposisi demografinya. Penduduk asli (bisa disebut Indigenous Australians; Aboriginal and Torres Strait Islander people; atau First Nations) mencakup 18% dari total penduduk, jauh lebih tinggi daripada kota-kota besar di Australia. Sydney sendiri cuma punya proporsi penduduk asli sekitar 1%.

Penduduk kulit putih yang merupakan mayoritas di Alice tak berbeda dengan yang ada di bagian-bagian Australia lainnya. Aksen bahasa Inggris, gaya hidup, taraf hidup, semuanya sama. Namun ketika melihat penduduk asli (yang jauh lebih sering saya temui di jalan-jalan Alice karena persentasenya yang cukup signifikan), it’s like I saw such two different worlds in the same town.

Anda akan dengan mudah melihat dari penampakan luarnya. Kelihatan sekali penduduk asli ini cenderung less privileged. Secara kesehatan, mereka juga lebih rentan (dengan imunitas tubuh yang cenderung lebih rendah) dibandingkan kelompok-kelompok penduduk Australia lainnya. Belum lagi masalah sosial di jalanan Alice. Tunawisma, orang dengan gangguan kejiwaan, pengemis, pecandu alkohol, hingga biang keributan di malam hari, nyaris selalu dari kalangan penduduk asli. Dan ini masih terjadi hingga hari ini di sebuah negara yang demikian makmur.

Bisa jadi sebagian orang terlalu gampang memberikan judgment ini-itu. Bahwa penduduk asli ini terlalu “nyaman” dengan kondisi mereka. Susah diajak maju. Bantuan sebesar apa pun dari pemerintah maupun lembaga kemanusiaan (seperti Salvation Army) akan habis dalam sekejap karena mereka tidak mahir membuat rencana jangka panjang. Namun, mengarahkan jari telunjuk hanya pada faktor-faktor internal penduduk asli, rasanya sungguh tidak adil.

Bukankah kelompok penduduk asli ini mewarisi masa lalu kelam yang disebabkan oleh si pemilik kuasa, yang kemudian turut memengaruhi kemajuan mereka? Mulai dari pemerintah kolonial Inggris di abad ke-18 dan ke-19, dan kemudian pemerintah Australia sendiri di abad ke-20. Ada perampasan tanah, marginalisasi, diskriminasi, perlakuan semena-mena, hingga kisah Stolen Generations yang teramat tragis. Pernah ada masa-masa ketika mereka tidak berkesempatan mengembangkan tradisi dan budaya yang melekat pada identitas mereka. Pula tidak diberi kesempatan untuk mengecap kemajuan ala Barat dan berkontribusi terhadap pembangunan.

Terlepas dari segala upaya pembangunan yang telah dilakukan oleh pemerintah Negeri Kanguru, potret penduduk asli hari ini menjadi bukti bahwa masih ada setumpuk pekerjaan rumah yang menunggu untuk diselesaikan. Sebagai manusia dan warga negara, sudah sepatutnya mereka punya hak atas kesetaraan dan kesempatan yang sama. Potret penduduk asli Benua Kanguru ini juga layak menjadi refleksi bagi bangsa-bangsa lain di dunia. Khususnya bangsa-bangsa yang masa silamnya diwarnai oleh kelaliman terhadap penduduk asli yang di kemudian hari menjadi minoritas atau warga kelas dua di tanah moyangnya sendiri…

(Gambar diambil dari sini)


Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Categories

%d bloggers like this: