Posted by: Salim Darmadi | 29 June 2022

Karakter, Kapasitas, dan Kontribusi

“Lim, tahu gak, sebenarnya aku ini termasuk orang dengan kepribadian outgoing introvert?” Demikian ujar seorang kawan ketika kami berkesempatan reuni dengan teman-teman seangkatan, suatu malam dua tahun lalu di bilangan Senopati.

“Oh ya?” sahut saya setengah tidak percaya. “Aku juga outgoing introvert, tapi ‘kan aku lebih sering di belakang layar. Lha dirimu ‘kan lain!”

Kawan saya satu ini berbeda dengan kebanyakan angkatan kami yang rata-rata menjalani profesi sebagai birokrat. Dia kini seorang figur publik di daerahnya, menyelenggarakan hajat hidup orang banyak, dengan jangkauan jejaring yang demikian luas. Belum lagi harus menghadiri pertemuan, silaturahim, konsolidasi, dan rapat ini-itu. Tersebab peran itu, wajahnya pun terpampang di berbagai sudut jalan kota tempat dia berkiprah, lengkap dengan pesan-pesan untuk masyarakat.

“Hehehe, begitulah…” Dia nyengir, meyakinkan saya bahwa dia bukanlah seorang ekstrover seperti yang saya kira.

Hingga hari ini pun saya masih tak terbayang. Rasanya introver mana pun tahu, hal-hal seperti itu terkadang terasa berat bukan main untuk dilakukan. Namun determinasi yang kuatlah yang membuat kawan saya itu menanggalkan keintroverannya untuk sementara dalam menjalankan tugas-tugas publik. Dia mengasah terus kapasitasnya, dan berupaya menjalankan peran yang diamanatkan kepadanya sebaik mungkin. Meski tentu ada saat-saat di mana dia merasa lelah setelah berjam-jam berinteraksi dengan orang, lalu membenamkan diri dalam kesendirian barang beberapa saat untuk mengisi kembali energinya.

Saya lalu berkaca pada pengalaman pribadi. Sebagai seseorang yang juga cenderung outgoing introvert, saya selalu merasakan godaan untuk tenggelam dalam zona nyaman saya. Menikmati saat-saat sendiri. Tanpa perlu sering bertemu banyak orang. Cukup melewatkan waktu dengan orang-orang dekat yang paham akan diri dan karakter saya. Syukurlah, peran dan amanat yang mau tak mau harus saya terima mengharuskan saya untuk sering-sering keluar dari kenyamanan itu.

Sekali lagi mau tak mau, saya harus bangkit. Lalu mengasah keterampilan interpersonal saya dan berusaha menjalankan amanat yang diberikan sebaik mungkin. Saya memaksa diri untuk berkontribusi sejauh yang saya mampu untuk komunitas dan sekitar saya. Apalagi di luar sana ada sekian banyak contoh pemimpin-pemimpin besar yang ternyata juga introver, namun rekam jejak dan dampak positif yang mereka torehkan tidak kalah luar biasa.

Please don’t get me wrong. Saya tentu paham tiap individu memiliki karakter, situasi, dan tantangan yang berbeda-beda. Tidak semua orang introver harus menanggalkan kepribadiannya untuk bisa berbuat dan berkontribusi. Demikian juga tidak semua ekstrover harus mengubah diri menjadi introver sedemikian rupa. Tiap orang punya cara dan potensinya masing-masing.

Saya yakin, kita semua memiliki kelebihan yang dapat menjadi andalan untuk berkontribusi, tak pandang bagaimana karakter dan kepribadian “bawaan” diri. Tiap-tiap individu memiliki minat dan kecenderungan yang dapat menjadi pilihan dan sarananya untuk berbuat sesuatu. Ladang untuk berkontribusi terbentang luas di hadapan sana. Akhirnya kembali kepada masing-masing. Seberapa besar kemauan untuk bergerak dan memberikan dampak. Tak peduli besar maupun kecil adanya. Tak peduli dalam keramaian ataupun kesunyian dari pandang mata dan sanjungan manusia. Intinya menjadikan diri membawa dampak positif dan kemanfaatan nyata.

“Bang, bagaimana kalau kita memilih menjadi orang yang biasa-biasa saja?” Demikian pertanyaan yang pernah saya terima, ketika diminta berbagi untuk adik-adik mahasiswa yang baru saja menyelesaikan pendidikan mereka. Waktu itu saya menekankan akan pentingnya perencanaan karier, untuk dapat meraih peluang mobilitas vertikal dan memberikan dampak secara lebih luas. Bolehlah dibilang saya memotivasi mereka untuk “ambis”, tentu dalam pemaknaan yang positif.

Saya terdiam sejenak merenungkan sebaris pertanyaan itu. Pertanyaan yang bagus dan menarik. Bagaimana saya harus menanggapinya?

“Hmm, tentu itu pilihan masing-masing pribadi ya… Tidak ada yang bisa memaksa bagaimana kita menjalani hidup,” jawab saya akhirnya. “Namun, saya khawatir, apabila kita memilih menjadi pribadi yang sekadar ‘biasa-biasa saja’, kita tidak dapat menjadi sarana pengabulan doa yang dipanjatkan oleh orangtua dan pendahulu kita sebagaimana yang ada di Surat Al-Furqan ayat 74!”

Dalam ayat Alquran tersebut, ada doa yang demikian indah yang sering saya dengar dilangitkan oleh kedua orangtua saya. Orangtua Anda barangkali juga melafalkan doa yang sama, ataupun doa-doa serupa. Dalam doa itu tersemat harapan, agar kita, buah hati mereka, menjadi anak-anak yang menyejukkan mata dan hati. Tak kalah penting, ada harapan agar sang buah hati menjadi pelopor kebaikan; menjadi teladan bagi orang-orang yang berbakti kepada Penciptanya. Saya tidak bisa hanya berdiam diri agar doa orangtua saya tersebut dikabulkan. Ada kewajiban saya untuk memulai dan bergerak!

Jika saya melihat kembali rekam jejak dan sepak terjang saya, bisa jadi peran dan kontribusi yang saya berikan termasuk biasa-biasa saja di mata mereka-mereka yang tergolong aktivis sejati dan sudah berkontribusi luar biasa. Bisa jadi pula rekam jejak saya tergolong luar biasa bagi kawan-kawan yang belum dapat menikmati kesempatan yang saya raih. Namun terlepas dari rupa-rupa opini manusia, saya bersyukur sekali karena masih dikaruniai-Nya ilham dan keinginan untuk mengasah kapasitas, berkontribusi sesuatu, memberikan dampak, dan meninggalkan jejak berarti. Meskipun sudah pasti serba terbatas kemampuan diri.

Saya lagi-lagi merenung. Ladang amal terbentang luas di sana, menunggu untuk diolah dan ditanami. Saya dapat berkontribusi terhadap ikhtiar kebaikan dengan tenaga, pikiran, dan waktu. Saya bisa membagikan sebagian dari rezeki dan ilmu yang dikurniakan-Nya kepada saya sehingga bermanfaat untuk semakin banyak orang. Pun saya bisa menjadikan kemampuan, keahlian, dan kesempatan yang saya miliki sebagai sarana menyebarkan pengaruh positif. Dan seterusnya.

Saya mengingatkan diri untuk bangkit dan terus berupaya memberikan dampak positif itu, lagi dan lagi. Tak pandang besar-kecil ataupun luas-sempit cakupan dampak yang mengikuti. Tak peduli jalan yang saya lalui ramai penuh spotlight sana-sini, ataupun sunyi-sepi tanpa sanjungan dan puja-puji.

Karena saya ingin meninggalkan legacy berarti untuk komunitas, umat, bangsa, dan negeri yang saya cintai. Tersebab saya ingin mengumpulkan perbekalan untuk kampung abadi nanti. Lantaran hidup terlampau berharga untuk sekadar dihabiskan memikirkan diri sendiri.

📸: Mas Ivor Dwitomo


Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Categories

%d bloggers like this: