Ceritanya saya teringat ketika beberapa waktu lalu menerima sebuah email promo dari LinkedIn. Kalimat pembuka email tersebut bunyinya begini, “Salim, we love your ambition!” Membaca kalimat itu saya ketawa geli. Serta-merta saya “ngaca” dan senyum simpul melihat profil LinkedIn saya yang sepanjang jalan kenangan (hehehe), sambil bertanya dalam hati, “Do I look that ambitious, dear LinkedIn?” 😏
Pada kesempatan yang lain, di Tanah Air sebelum pandemi, saya bersama sejumlah kawan dekat janjian ketemu sambil makan siang bareng. Di sana ada seorang kawan yang, atas kehendak Tuhan, sudah melalui banyak hal dalam hidupnya. Alhamdulillah, satu demi satu ujian dapat ia lalui. Saya ingat kalimat yang diucapkannya ke saya.
“Lim, kalau aku lihat teman-teman muda yang ambisinya luar biasa gitu… yah, aku sudah melewati masa-masa itu lah. Di umur segini akhirnya kembali ke dua hal yang lebih penting dibandingkan semua ambisi itu: Keluarga dan kesehatan.”
Kedua penggal kisah di atas membuat saya berkaca pada pengalaman diri sendiri. Teringat kembali rangkaian peristiwa dan perjalanan hidup ketika saya berwujud anak muda yang ambis luar biasa, hingga episode hidup berikutnya ketika saya beranjak semakin matang (untuk tidak menyebut diri tua, hehehe) dan sempat mempertanyakan apakah ambisi itu relevan.
Kalau diingat-ingat sih, saya itu ambisius banget zaman kuliah S-1 (lebih tepatnya D-3 kemudian lanjut D-4) di kampus Jurangmangu hingga beberapa tahun setelahnya. Di kampus, selain perkuliahan, segala macam organisasi dan kegiatan saya ikuti. Lulus D-3 alhamdulillah berkesempatan langsung lanjut ke D-4. Lulus D-4 dengan capaian yang lumayan, lalu bergabung dengan institusi yang diidamkan.
Di awal-awal bekerja pun, hari kerja maupun akhir pekan saya selalu padat merayap dengan aneka rupa aktivitas. Organisasi ini-itu, rapat sana-sini, menclok dari satu meet-up ke meet-up yang lain. Dikelilingi banyak kawan dan sahabat. Tak lupa kursus bahasa Inggris dan bahasa Arab. Dan kemudian bisa terbang ke Brisbane untuk studi S-2 di usia 25 tahun. Backpacking dan berkelana melihat sudut-sudut terpencil dunia di belahan bumi selatan.
Saya bagaikan seekor burung yang bebas mengepakkan sayap ke bagian dunia mana pun. Ditambah status masih bujangan. Jauh dari orangtua dan kampung halaman (istilahnya “ucul”, hehehe). Pun keluarga di kampung halaman baik-baik saja. Kedua orangtua sehat walafiat dan mendukung penuh. Literally there’s nothing concerning enough. Begitulah seorang Salim Darmadi di usia seperempat abad. Muda, ambisius, lincah, ceria, haus melihat dunia, selalu lapar pengalaman, dan ingin mengembara.
Namun, perjalanan kehidupan berikutnya menjadi masa-masa yang menentukan dan menempa. Saya menjalani studi di Brisbane dengan segala rupa tantangannya, lalu menikah dan berumah tangga, kemudian kembali ke Tanah Air dan melanjutkan karier di institusi tercinta. Dalam perjalanan itu, saya menyaksikan sejumlah mimpi saya tak tercapai, terbang begitu saja. Saya dipaksa menelan mentah-mentah fakta pahit bahwa satu demi satu realitas dan ujian hidup berdatangan dan mau tak mau harus saya hadapi.
Ada rasa getir, pahit, sakit. Namun saya merenung dan belajar banyak. Begitulah hidup. Sudah lewat sebuah masa ketika semua keinginan tercapai dan setiap cita-cita bisa teraih dalam genggaman. Saya sedikit demi sedikit belajar menerima kenyataan: Mimpimu yang tinggi kadang tak tercapai, keindahan yang kaubayangkan adakalanya tak terwujud nyata, dan cita-citamu yang selangit ada saatnya harus kaulepas pergi.
Dengan semua pengalaman, serta dua periode kehidupan yang demikian berbeda tersebut, ternyata tetap ada banyak hikmah dan pelajaran berharga yang saya dapat. Setidaknya ada dua hal yang rasanya ingin saya bagi di sini.
Pertama, semua peristiwa, ujian, dan pengalaman itu memperkaya dan mendewasakan. Mungkin itu sebabnya dulu di usia seperempat abad saya terlampau kekanak-kanakan, lha wong ujiannya minim, hehehe. Dengan semua dinamika kehidupan yang berwarna-warni itu, saya belajar pasrah, bersabar, dan berlapang dada. Saya belajar nrimo. Saya belajar letting go. Saya belajar mengatakan “ya sudahlah” dengan tulus dan pasrah.
Saya jadi teringat ketika menjalani seleksi wawancara beasiswa empat tahun lalu. Sang psikolog yang mewawancarai saya melontarkan beberapa pertanyaan terkait ujian berat kehidupan yang pernah saya alami, yang alhamdulillah bisa saya jawab dengan mantap dan tenang tanpa drama. Beliau sampai berkomentar, “Dari cara Anda menjawab pertanyaan, sepertinya Anda sudah banyak ditempa oleh tantangan dan kesulitan dalam hidup ya?” Saya cuma mrenges mendengar komentar itu. Semoga saya memang setangguh itu, Pak.
Kedua, aneka ujian dan kesulitan mengajarkan saya untuk stay grounded dan rendah hati. Saya dipaksa mengingat lagi bahwa saya hanyalah makhluk lemah tanpa daya di hadapan takdir dan kuasa Ilahi. Saya sungguh tidak terbayang. Seandainya perjalanan hidup saya senantiasa mulus, sempurna, dan semua cita-cita tercapai persis seperti yang saya inginkan, barangkali sekarang saya sudah mewujud jadi manusia yang kemaki. Sombong. Kemenyek. Besar kepala. Tinggi hati. Arogan tak karuan. Suka meremehkan liyan. Tak pandai menempatkan diri. Kurang mawas diri. Songong. Dan seterusnya.
Sekarang pertanyaannya: Dengan usia yang semakin matang ini (hehehe), apakah saya masih ambis? Jawabannya tentu saja masih, hehehe. Kalau tidak ambis, rasanya tak mungkin saya berada di sini sekarang. Di sudut sebuah kampus di jantung metropolitan Sydney, melalui tahap demi tahap penelitian doktoral saya. Rasanya itu menjadi bukti bahwa saya masih ambis. Terlebih dengan tipe kepribadian saya yang cenderung INTJ, karakter ambis sepertinya susah dilepaskan, hehehe.
Lagipula, tanpa ambisi dan kemauan yang kuat, rasanya tidak mungkin kita bisa menjalani hidup yang bermakna dan berdampak, bukan? Tanpa cita-cita yang firm, rasanya mustahil ada motivasi yang kuat untuk berbuat dan bergerak. Saya jadi teringat sebuah tulisan renungan pribadi ketika saya memotivasi adik-adik milenial untuk “standing out from the crowd”.
Namun, berbekal berbagai karunia dan pengalaman hidup yang Tuhan berikan, saya juga belajar yang namanya mengelola ekspektasi. Ambisi tetap ada, cita-cita tinggi tetap tersemat di sana. Namun saya bersiap dengan berbagai kemungkinan outcome yang bisa jadi sejalan, nyerempet, ataupun berkebalikan dengan ekspektasi saya.
Jadi saya berupaya mencari titik balance sedemikian rupa. Ambisi berjalan beriringan dengan terkelolanya ekspektasi. Segala ambisi (yang biasanya berkaitan dengan capaian karier, akademis, organisasi, materi, dan seterusnya) memang akan turut menentukan peran saya di tengah pentas kehidupan anak manusia. Pun menentukan derajat aktualisasi diri dan kontribusi saya. Namun itu bukan tanpa tapi.
Ada kalanya seseorang menjumpai keharusan untuk sedikit-banyak “mengorbankan” ambisi itu demi hal-hal yang tak kalah penting dalam hidup, semacam keluarga, kesehatan, dan kebutuhan untuk survive. Pun seseorang harus siap berkompromi apabila dalam titik-titik tertentu ada badai yang menghantam biduk yang tengah dikayuh. Di situlah saya lagi-lagi harus belajar pasrah, belajar nrimo, dan belajar letting go. Untuk kemudian menyusun ulang semuanya lalu berusaha melanjutkan kayuhan biduk saya, meski mungkin dengan rencana yang berubah dan prioritas yang bergeser. Gelombang pandemi selama satu setengah tahun terakhir rasanya telah mengajarkan begitu banyak hal untuk kita semua.
Saya pun kembali mengingatkan diri sendiri. Pada akhirnya, bukankah semua ambisi di dunia ini harus bermuara pada something noble di ujung sana? Tak lain tak bukan ini semua harus menjadi bekal untuk kampung akhirat nanti. Untuk meraih keampunan Tuhan Sang Maha Pemberi. Untuk merengkuh rahmat-Nya sehingga diri dan orang-orang terkasih diizinkan untuk merasai kebahagiaan abadi di surga yang tinggi, yang luasnya seluas langit dan bumi…
—
📸: Mas Ivor Dwitomo
Senang sekali rasanya membaca tulisan ini, Pak.
Saya rasa, kalimat yang tepat untuk menggambarkan tentang Bapak adalah orang yang “living his life to the fullest.”.
Salam, Pak.
By: Ayu Frani on 29 June 2021
at 11:05 am
Terima kasih, Kak Ayu. Tentu saya masih terus belajar. Semoga kita semua bisa terus berproses menuju “living life to the fullest” ya…
By: Salim Darmadi on 28 August 2021
at 9:51 am
Aminnn, Pak.
By: Ayu Frani on 29 August 2021
at 3:47 pm