Sore itu mentari sore mulai menampakkan kembali sinarnya di lereng Mount Cook di pantai barat Pulau Selatan, Selandia Baru, setelah pada siang harinya hujan deras mengguyur kawasan ini. Saya baru saja mengunjungi Lake Matheson dan berjalan kembali menuju penginapan saya yang terletak di desa mungil Fox Glacier Township.
Jarak antara Lake Matheson dan township tersebut adalah sekitar empat kilometer. Mau tidak mau saya harus menempuh jarak tersebut dengan berjalan kaki, karena memang tidak ada angkutan umum di tempat yang relatif terpencil ini. Kebanyakan pelancong menjangkau Lake Matheson dengan menyewa mobil ataupun karavan.
Meski kaki sudah terasa pegal karena sebelumnya saya juga berjalan kaki dari desa menuju danau, saya mencoba menikmatinya. Setidaknya tujuan saya singgah di sini, menikmati pemandangan pegunungan bertudung salju yang terpantul di permukaan Lake Matheson, tercapai sudah.
Tetiba sebuah mobil berjalan pelan mendahului saya, dan kemudian berhenti di sebelah kiri jalan. Saya melihat pengemudinya, seorang perempuan kulit putih berambut pirang berusia tiga puluhan tahun, membuka pintu mobil dan turun. Ia melihat ke arah saya dan menyapa ramah, “Hello, are you going back to the township?”
Saya segera mengenalinya. Ternyata perempuan itu adalah pelancong yang tadi bertemu saya di tepi Lake Matheson. Ia menawari saya untuk menumpang mobilnya ke desa, menempuh jarak dua kilometer yang tersisa. Tawarannya saya terima dengan senang hati.
Dalam perjalanan menuju desa, perempuan Jerman itu sempat menceritakan perjalanannya di Negeri Kiwi ini. Ia menyewa mobil untuk bertualang dari satu tempat ke tempat lain di seantero negeri. Akhirnya ia menurunkan saya di depan motel tempat saya menginap, dan saya pun mengucapkan terima kasih atas kebaikannya memberikan tumpangan.
Pejalan perempuan dari jantung Eropa itu menambah panjang daftar orang baik yang saya temui ketika melakukan perjalanan. Saya mendapati bahwa orang-orang baik semacam itu, baik sesama pejalan maupun orang lokal, tampak begitu tulus dan tidak segan-segan menawarkan pertolongan. Mereka dengan ramah dan ringan tangan membantu dengan apa yang mereka bisa, tanpa memedulikan latar belakang ataupun warna kulit. Menjumpai kebaikan hati dari orang asing seperti itu sungguh meninggalkan kesan yang mendalam di hati.
Dalam banyak kesempatan lain, saya berulang kali menjumpai orang-orang pemurah yang baik saya minta ataupun dengan inisiatif sendiri memberikan pertolongan. Saya teringat pada minggu-minggu pertama saya di Brisbane, Australia, saya sempat berdiri kebingungan di sebuah perempatan di dekat Central Railway Station di pusat kota, menebak-nebak jalan yang harus lalui untuk kembali ke tempat tinggal saya di St Lucia. Ketika mencermati peta yang saya bawa, seorang lelaki kulit putih berpakaian formal dengan jas dan dasi menghampiri saya dan dengan ramah menawarkan bantuan, “Hi, how can I help you?”
Demikian juga ketika saya sedang berusaha menemukan tempat penyelenggaraan seminar di pusat kota Stockholm, Swedia. Saya lalu mendekati seorang remaja yang sedang sibuk dengan ponsel pintarnya. Setelah saya bertanya, dengan bahasa Inggris yang lancar ia merespons, “I’m not sure where it is. Do you want me to search the location on Google Maps?”
Dalam kunjungan singkat ke Tokyo, saya juga berulang kali menerima kebaikan hati orang-orang yang saya temui dalam perjalanan. Kepada seorang panitia seminar, Kumiko, saya bercerita bahwa saya ingin mengunjungi pusat pelelangan ikan Tsukiji di timur Tokyo. Ia lalu membekali saya dengan secarik kertas bertuliskan “Saya ingin pergi ke pasar ikan Tsukiji” dalam bahasa Jepang, agar nantinya bisa saya tunjukkan ke pengemudi taksi. Tidak hanya itu, tanpa saya minta ia juga mengirimi saya beberapa email berisikan aneka informasi yang perlu saya ketahui untuk berkunjung ke tempat pelelangan ikan terbesar di Negeri Sakura itu.
Di Negeri Matahari Terbit ini pun, di tengah keterbatasan bahasa, orang-orang yang saya temui di jalanan juga tak segan-segan membantu ketika saya bertanya letak suatu tempat. Tampak permintaan maaf yang tulus dari wajah-wajah mereka manakala mereka tak dapat membantu saya karena tidak mengerti bahasa Inggris. Di salah satu sudut Harajuku, seorang gadis berpakaian modis dengan gembira menjawab pertanyaan saya sekaligus mempraktikkan kemampuan bahasa Inggrisnya. Di Negeri Ginseng, ketika saya mengamati peta besar di dinding salah satu stasiun di metropolitan Seoul, seorang warga lokal menyapa dan menanyakan apakah ada yang bisa ia bantu.
Di beberapa kota yang sempat saya singgahi di berbagai penjuru bumi, saya juga berterima kasih kepada para penjual kebab halal. Di Queenstown, Selandia Baru, yang merupakan “Adventure Capital of the World”, untuk makan saya selalu singgah di sebuah gerai kebab di jalan utama kota. Wisatawan muslim di kota ini tidak terlampau banyak, namun mereka tetap menyediakan daging halal. Saya sempat berbincang dengan penjualnya yang keturunan Turki. Mereka tak ragu memanggil saya dengan sapaan khas “Brother”. Keberadaan mereka tentu sangat bermanfaat bagi pelancong muslim yang singgah di Queenstown.
Sungguh, saya merasakan banyak manfaat dari orang-orang baik yang saya temui di sepanjang perjalanan. Mereka menjadi perantara dari petunjuk yang diberikan oleh Tuhan untuk saya, sehingga saya bisa tiba di tempat tujuan dengan selamat dan mengatasi berbagai hambatan. Perjumpaan saya dengan orang-orang baik itu memang singkat adanya, namun seringkali kesan positif yang ditinggalkannya masih membekas di hati hingga sekian lama. Pertolongan yang mereka berikan, meskipun sepintas terlihat sederhana, menjadi representasi dari kesungguhan mereka untuk membantu sesama dan menebar manfaat.
* * *
Saya baru hendak menyeberang dari Masjid Istiqlal menuju Stasiun Juanda, melintasi Jalan Veteran dan Jalan Juanda yang ramai sore itu, ketika melihat sepasang muda-mudi kulit putih yang juga hendak menyeberang. Pemandangan yang tidak asing lagi di mata saya. Para pejalan muda dari negara-negara Barat yang berjalan kaki menyusuri jalanan Ibu Kota, mengeksplorasi sudut-sudut salah satu metropolitan terbesar di dunia dan tidak sekadar menyambangi tempat-tempat wisata.
Mereka berdua melempar senyum kepada saya dan bertanya dengan sopan, “Hello, can you please show us the location of Pecenongan?”
“Sure, let’s cross this street first.” Saya mengajak mereka menyeberang. Begitu sampai di seberang, saya berbincang sejenak dengan mereka dan menunjukkan arah untuk mencapai Jalan Pecenongan. Tak lupa saya mengingatkan mereka untuk selalu berhati-hati, khususnya ketika menyeberang jalan.
Kedua pelancong Jerman itu pun mengucapkan terima kasih dan beranjak menyusuri sisi utara Jalan Juanda. Mereka melangkah santai, menikmati suasana sore Jakarta dengan kepadatan lalu lintasnya yang khas. Tampak sekali mereka menikmati sensasi dari suasana semacam ini.
Kebaikan hati manusia yang saya jumpai ketika melakukan perjalanan di berbagai penjuru bumi, mendorong saya untuk melakukan hal serupa kepada orang-orang asing yang sedang melakukan perjalanan di “rumah” saya sendiri. Sebagaimana saya mendapati orang-orang baik ketika menginjakkan kaki di berbagai belahan dunia, semoga kebaikan hati semacam itu pula yang banyak mereka jumpai dalam perjalanan mereka menjelajahi Tanah Air saya.
[Gambar: Fox Glacier Township, Pulau Selatan, Selandia Baru (dok. pribadi)]
kusuka tulisannya.
By: Faizin on 20 July 2018
at 1:07 am
Terima kasih, kakak…
By: salimdarmadi on 1 August 2018
at 9:43 am
Coretan dari Mas salim darmadi sungguh menginspirasi saya untuk memulai menulis. Dengan kata lain, sy ingin mengembalikan kebaikan Mas salim (lewat tulisan Mas Salim) dengan tulisan saya pribadi yg harapannya bisa membantu orang lain. Aamiin hehe terima kasih Mas Salim
By: Herjuno on 2 May 2019
at 3:03 pm
Aamiin YRA… Terima kasih kembali, Bro. Alhamdulillah senang mendapati goresan kecil saya di blog ini bisa bermanfaat. Keep inspiring!
By: salimdarmadi on 24 July 2019
at 11:25 am