Ketika mulai berburu beasiswa doktoral pada awal tahun 2017 lalu, di saat yang sama saya juga memulai pencarian calon supervisor atau pembimbing riset PhD. Dari awal, saya sudah menyiapkan mental bahwa mungkin saja proses mencari supervisor ini akan memerlukan waktu yang panjang. Tak lain dan tak bukan adalah karena saya sadar bahwa saya mungkin belum termasuk kandidat terbaik yang ditunggu-tunggu oleh program PhD di universitas-universitas terkemuka dunia.
Saya jadi ingat kegalauan saya delapan tahun lalu, ketika saya menyelesaikan jenjang Master saya dari University of Queensland (UQ). Saya bertanya-tanya, apakah masih ada peluang bagi saya untuk mengejar mimpi melanjutkan pendidikan hingga jenjang doktoral di luar negeri? Jenjang Master saya di UQ adalah program full coursework (tanpa tesis). Prestasi akademis saya di UQ, meskipun terkategori lumayan bagus, bukan yang terbaik di angkatan saya. Saya juga tidak kenal profesor yang mungkin mau merekomendasikan saya.
Namun saya menolak menyerah. Saya melihat peluang lain, yaitu publikasi ilmiah. Saya berpikir, seandainya saya mempunyai portofolio publikasi ilmiah, mungkin akan bisa mendongkrak keunggulan kompetitif saya dalam persaingan memperebutkan beasiswa dan juga bangku kuliah PhD. Maka kerja keras saya pun dimulai. Alhamdulillah, saya merasa mendapat banyak petunjuk dan kemudahan, dan usaha itu berbuah manis. Satu persatu paper saya terpublikasi di jurnal-jurnal ilmiah internasional bidang akuntansi dan keuangan. Portofolio ini kemudian membawa saya pada sejumlah kesempatan emas yang lain: memenangkan beberapa penghargaan best paper award serta diundang menjadi reviewer di jurnal-jurnal internasional.
Karena itu, ketika mulai mendekati calon-calon supervisor di berbagai universitas, saya “menjual” pengalaman publikasi ilmiah tersebut. Namun, sekali lagi, saya tetaplah bukan kandidat yang “sempurna”. Kondisi saya ini kontras dengan seorang kawan saya. Ia lulusan S-2 UQ dengan nilai tinggi, juga dengan tesis. Supervisor dia ketika S-2 pun puas dengan hasil kerjanya. Maka ketika kawan saya ini mencari beasiswa S-3, dia menghubungi mantan supervisor-nya. Akhirnya, dia bisa terbang kembali ke UQ untuk mengambil program PhD dibimbing oleh supervisor yang sama.
Berbeda dengan kawan saya tersebut, mau tak mau saya harus menggunakan sistem “tebar kail”. Saya mengirimkan email penjajakan kepada banyak profesor sekaligus di berbagai universitas dunia, yang minat risetnya sejalan dengan preliminary research proposal yang telah saya susun (kalau dihitung-hitung, profesor yang saya kontak jumlahnya bisa mencapai puluhan!). Alhamdulillah, saya mendapat respons positif dari beberapa profesor di Inggris dan Australia.
Ketika mendaftar beasiswa doktoral LPDP, saya memutuskan untuk mengajukan profesor dan universitas di Inggris. Selain karena profesor tersebut yang pertama kali memberi jawaban, ini didorong juga oleh keinginan saya untuk bisa belajar di Inggris (soalnya ‘kan Master-nya sudah di Australia, hehehe). Setelah mendapat jawaban dari profesor, saya pun mengajukan aplikasi resmi ke universitas tempat sang profesor bernaung. Beribu sayang, ternyata bukan rezeki saya. Aplikasi saya gagal alias ditolak. Tidak disebutkan alasan spesifiknya, tetapi mungkin saja dikarenakan universitas dimaksud hanya menyediakan kursi untuk mahasiswa baru PhD dalam jumlah terbatas, sedangkan ada kandidat lain yang boleh jadi lebih unggul dibandingkan saya.
Maka saya pun menengok kembali ke selatan, ke negeri yang pernah saya tinggali selama dua tahun. Singkat cerita, ada seorang dosen University of Technology Sydney (UTS). Masih muda, namun sudah bertitel Associate Professor. Ia mengontak saya dan menyatakan ketertarikannya membimbing saya, setelah mencermati Expression of Interest program PhD yang saya kirimkan ke UTS beberapa waktu sebelumnya. Di luar dugaan, ternyata orangnya sangat suportif. Dia juga kemudian mewawancarai saya melalui Skype. Akhirnya, dia merasa menemukan kecocokan dan mau melanjutkan rencananya membimbing saya, lalu meminta saya segera mengajukan aplikasi ke UTS.
Saya pun mengajukan aplikasi untuk masuk program doktoral di UTS. Semula saya urus sendiri melalui sistem aplikasi online UTS, namun kemudian saya juga minta dibantu oleh konselor di IDP Education, Kuningan, Jakarta. Alhamdulillah, saya mendapatkan unconditional letter of offer pada bulan Desember 2017. Sebagai informasi, UTS (meskipun tidak termasuk Group of Eight) adalah salah satu universitas terkemuka di Negeri Kanguru. Ia menempati peringkat 160 dunia, dan peringkat 8 dunia untuk perguruan tinggi berusia muda (di bawah 50 tahun) berdasarkan pemeringkatan Quacquarelli Symonds (QS). Disiplin ilmu akuntansi dan keuangan UTS juga termasuk dalam jajaran 100 besar dunia menurut QS.
Ternyata di proses ini ada hambatan yang saya temui. Karena saya adalah calon penerima beasiswa doktoral LPDP tahun 2017, LPDP menentukan bahwa studi saya baru bisa dimulai tahun 2019 (sebenarnya bisa saja seorang calon awardee mengajukan untuk mulai studi tahun 2018, namun saya belum mengikuti Persiapan Keberangkatan LPDP dan juga masih ada tugas yang harus saya selesaikan di kantor). Maka kemudian konselor IDP menghubungi UTS untuk meminta penundaan (deferral) agar saya bisa memulai studi tahun 2019.
Namun, proses keluarnya letter of offer yang baru membutuhkan waktu yang lumayan lama, apalagi ada kemungkinan aplikasi saya tidak masuk prioritas untuk segera diproses, karena saya baru akan masuk UTS tahun 2019. Dengan kondisi seperti ini, saya tidak bisa tenang. Bagaimana kalau setelah minta deferral, aplikasi saya di-assess lagi dari awal? Ketika saya tanyakan kepada konselor IDP, dia menjawab bahwa langkah selanjutnya tentu tergantung saya. Calon supervisor saya mengatakan, kalaupun ada assessment lagi, dia akan memberikan dukungan yang saya perlukan. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa nanti masih ada tempat buat saya di UTS?
Bulan Maret 2018, keluar letter of offer yang baru. Saya sempat menarik napas lega, namun buyar seketika kala mendapati bahwa letter of offer tersebut adalah untuk memulai studi pertengahan tahun 2018. Saya serta-merta mengontak IDP agar meminta dibuatkan letter of offer yang baru oleh UTS untuk intake 2019. Di sinilah kegalauan saya memuncak. Akhirnya, saya memutuskan untuk memulai lagi mencari calon supervisor, sekadar untuk jaga-jaga. Saya hubungi banyak akademisi di Inggris, di Australia, di Selandia Baru… Saya pun mengajukan aplikasi ke beberapa universitas. Beberapa alhamdulillah berbuah positif, namun sebagian yang lain berbuntut penolakan, hiks… (hehehe, namanya juga belum rezeki ya).
Setelah menunggu kurang lebih tiga bulan dan diwarnai segala “drama” tersebut, akhirnya tibalah di inbox email saya dokumen yang saya tunggu-tunggu itu, tepat pada hari terakhir bulan Ramadhan 1439 H: unconditional letter of offer dari UTS untuk memulai masa studi PhD di bulan Januari 2019. Alhamdulillaahil ladzii bini’matihii tatimmush shaalihaat. Saya bersujud syukur menerima berita yang sungguh melegakan itu!
Selanjutnya, mulai bulan Juli 2018 ini, saya mengawali proses persiapan menjelang mulainya studi S-3 saya di Negeri Kanguru (by the way, saya sudah ikhlas menerima bahwa rezeki saya adalah sekolah di Aussie lagi, hehehe). Masih ada serangkaian administrasi yang harus saya bereskan. Mengurus surat permohonan perpindahan universitas ke LPDP, menandatangani kontrak beasiswa LPDP, dan menerima offer dari UTS tersebut. Belum lagi saya harus melakukan pemeriksaan kesehatan, mengajukan aplikasi visa pelajar Australia, mencairkan dana beasiswa, mengurus asuransi kesehatan (Overseas Students Health Cover atau OSHC) untuk saya dan Ratri, memastikan akomodasi sementara di Sydney, dan mempersiapkan aneka perlengkapan.
Bismillah, semoga keseluruhan persiapan saya sebelum berangkat ke Australia dilimpahi kelancaran dan keberhasilan. Mohon doa pembaca budiman sekalian ya… 🙂
[Gambar: Opera House dan Harbour Bridge, Sydney (dok. pribadi)]
Masya Allah.. Sangat menginspirasi..
By: Maruf on 16 July 2018
at 2:43 pm
Terima kasih banyak, Ustadz Ma’ruf… 🙂
By: salimdarmadi on 16 July 2018
at 5:08 pm
Mugi2 lancar sakteruse. Amin
By: zizaw on 16 July 2018
at 7:27 pm
Aamiin. Matur nuwun, Gus Zaw. Doa yang sama untuk njenengan & keluarga… 😊🙏
By: salimdarmadi on 16 July 2018
at 8:30 pm
Mabruk wa barokallahu fiikum ya akhii. Semoga dilancarkan dan dimudahkan. Wassalam.
By: Masyhuri on 17 July 2018
at 5:56 am
Aamiin YRA. Terima kasih banyak, Pak Masyhuri. Doa yang sama untuk persiapan dan studi Pak Masyhuri ke Hungary… 🙂
By: salimdarmadi on 17 July 2018
at 4:09 pm