Terkadang saya geli sendiri menyadari betapa terbatasnya aktivitas saya di dapur ketika tinggal di Brisbane. Agenda di dapur yang paling sering saya lakukan adalah mengambil makanan matang di kulkas, menghangatkannya di microwave, lalu mencuci piring. Kalaupun harus menyalakan kompor untuk memasak, masakan yang saya buat tidak jauh dari telur dadar, telur ceplok, tumis sayur, atau mi instan. Kadang saya juga membuat roti bakar untuk sarapan.
Hal ini berbeda dengan rekan-rekan housemate saya yang bisa betah berjibaku di dapur. Saya kerap berdecak kagum melihat ketelatenan mereka. Meski laki-laki, mereka bisa tekun berbelanja sayur dan buah di Saturday Market, merencanakan makanan apa saja yang akan dimasak hingga seminggu ke depan, berjibaku di dapur pagi-pagi untuk mempersiapkan bekal makan siang di kampus, dan kembali lagi ke dapur selepas maghrib untuk memasak makan malam. Setekun itu pula mereka memotong sayur, merebus daging, mengiris tipis beraneka bumbu, lalu meracik bahan dan bumbu tersebut hingga akhirnya terhidang masakan yang siap disantap.
Meski saya seorang penikmat kuliner, sepertinya saya tidak dianugerahi keterampilan dan ketelatenan memasak. Sungguh, saya tidak bisa betah berlama-lama di dapur. Saya lebih suka melewatkan waktu luang dengan membaca, menulis, ataupun sekadar berselancar di dunia maya. Untuk memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari, memasak dengan bumbu instan makanan Indonesia (yang banyak dijual di toko bahan makanan Asia) tidak menjadi pilihan karena rasanya yang menurut saya “aneh”. Selalu membeli di kafeteria atau rumah makan tentu terlalu mahal. Alhamdulillah, sungguh saya dimudahkan oleh adanya ibu-ibu muda asal Indonesia yang menerima pesanan makanan. Tentu masakan khas Indonesia, yang diramu dengan bumbu asli.
“Mbak, kenapa bikin katering?” tanya saya kepada salah satu dari mereka suatu hari, ketika perempuan muda itu bertandang ke unit kami untuk mengantarkan makanan yang kami pesan. Ia tinggal di Brisbane karena mengikuti suaminya, seorang pegawai kerah putih bergaji dolar. Bisa ditebak, bukan uang yang ia kejar dari aktivitasnya menerima pesanan makanan dari mahasiswa seperti saya.
“Gimana ya? Kalau gue karena hobi aja sih…” jawabnya ringan.
Ibu muda itu, dalam bayangan saya, menemukan passion-nya ketika bergelut di dapur. Tatkala suaminya pergi bekerja dan anak-anaknya melewatkan setengah hari di kindergarten, ia memilih memanfaatkan waktunya untuk mencoba berbagai resep baru untuk dihidangkan kepada keluarganya saat makan siang dan makan malam. Mungkin itulah latar belakang munculnya ide untuk menerima pesanan makanan. Bisnis kecil-kecilan yang sungguh membantu banyak orang.
Sampailah saya pada satu kesimpulan bahwa masing-masing orang memiliki passion yang berbeda-beda, baik terkait hobi maupun pekerjaan. Rekan-rekan dan sahabat-sahabat di sekeliling saya juga memiliki passion yang beragam. Ada yang menemukannya ketika menjadi pegiat sosial, ketika mengajar di depan orang banyak, ataupun ketika berjibaku dengan tabung dan cairan di laboratorium. Ada yang merasa aktualisasi dirinya tumpah-ruah ketika meramu makanan, mempublikasikan tulisan bermanfaat di media massa, memancing dan membawa pulang ikan untuk dimakan oleh keluarga di rumah, atau mengabadikan berbagai momen kehidupan dalam karya fotografi.
Saya yakin, tiap orang mengalami perjalanan yang berbeda-beda dalam menemukan passion-nya. Ada yang dalam sekejap sudah menemukannya, ada pula yang harus menempuh perjalanan panjang dan melewati fase trial and error. Ada yang passion-nya tumbuh setelah melakukan suatu aktivitas untuk pertama kalinya, namun ada pula yang melakukan suatu pekerjaan sekian lama untuk menumbuhkan kecintaan, sebagaimana ungkapan pepatah Jawa “witing trisno jalaran soko kulino”.
Saya juga yakin, manakala passion itu digeluti sedemikian rupa, terhasilkanlah suatu produk andalan yang akan memberi nilai tambah bagi si empunya, bahkan bisa membantu orang-orang yang membutuhkan. Passion itu pula yang mengantar banyak anak manusia untuk berkontribusi pada kemanusiaan. Untuk menyebut beberapa, di sana ada ilmuwan yang terus meneliti dan menghasilkan produk baru, pegiat sosial yang tak kenal lelah memberdayakan masyarakat, guru dan dosen yang memberikan pencerahan dan motivasi kepada generasi masa depan bangsa, atau birokrat yang ingin menyebarluaskan semangat perbaikan di lingkungan kerjanya.
Renungan ini akhirnya saya tutup dengan satu pengingat untuk diri sendiri, “Temukan passion-mu, lakukan pekerjaanmu dengan passionate, dan tebar manfaat untuk sesamamu!”
[Gambar diambil dari sini]
Leave a Reply