Posted by: Salim Darmadi | 26 June 2018

Menuju Puncak dan Kesabaran Menjalani Proses

Pagi itu, dengan mengendarai bus dari hostel tempat saya menginap, saya tiba di kawasan Mount Eden di tengah metropolitan Auckland, Pulau Utara, Selandia Baru. Kawasan itu berupa ruang terbuka hijau yang luas dengan topografi berbukit-bukit. Mount Eden sendiri dulunya adalah sebuah gunung api berukuran mini dan kini telah mati. Sebagaimana taman publik di kota-kota lainnya di dunia, tempat itu menjadi tujuan warga setempat untuk bersantai, berolahraga, atau sekadar berjalan-jalan.

Saya memasuki kawasan yang terbuka untuk umum tanpa dipungut biaya itu. Titik yang saya tuju adalah sebuah tempat pengamatan (lookout) di puncak Mount Eden. Dari informasi yang saya dapat, dari titik itu pengunjung dapat menikmati pemandangan cantik kota Auckland dan sekitarnya.

Saya mulai kepayahan berjalan mendaki. Terlebih dengan ransel seberat delapan kilogram di punggung saya. Sebelum ke Mount Eden, saya memutuskan untuk langsung lapor keluar (checkout) dari hostel karena sore harinya akan melanjutkan perjalanan menuju Northland. Akhirnya saya bertanya kepada seorang lelaki kulit putih yang sedang berolahraga pagi dan berpapasan dengan saya.

Hello,” sapa saya, “Could you please show me where the lookout is?”

Sure”, jawabnya ramah. “It’s over there”, ia menunjuk sebuah tugu yang ternyata masih jauh di atas sana.

Di tengah napas yang tersengal-sengal, saya melongo. Ternyata perjuangan ini masih belum berakhir.

Pria itu tersenyum lebar, lalu berancang-ancang melanjutkan lari paginya sambil berkata, “Good luck!

Dengan tenaga yang tersisa di bawah paparan sinar matahari musim panas, saya menapakkan langkah demi langkah menuju titik pengamatan tersebut. Ketika sampai di atas, saya memang kepayahan. Namun kelelahan tersebut seolah terbayar oleh pemandangan cantik metropolitan Auckland yang terletak di sebuah tanah genting di Pulau Utara ini, diapit oleh pelabuhan Manukau yang menghadap Laut Tasman dan pelabuhan Waitemata yang menghadap Samudra Pasifik.

Demikian juga ketika saya mendaki Baldwin Street di Dunedin, Pulau Selatan, Selandia Baru. Menurut informasi yang saya baca di buku-buku panduan perjalanan, Baldwin Street masih memegang rekor sebagai jalan permukiman yang tercuram di dunia. Selayaknya jalanan di sebuah permukiman, di kanan dan kiri jalan berdiri rumah-rumah penduduk, namun yang membedakan adalah jalannya yang demikian curam.

Saya memilih meninggalkan ransel saya di “dasar” jalan, lalu mulai berjalan mendaki ke atas. Ternyata memang memerlukan perjuangan tersendiri untuk bisa sampai ke “puncak” jalan tersebut. Boleh jadi kepayahan yang rasa rasakan ketika mendaki disebabkan pula oleh fakta bahwa saya kurang teratur berolahraga.

Yang membuat saya kagum, pagi itu ada seorang pria yang tampak bugar, berlari menaiki dan menuruni Baldwin Street, bahkan hingga berkali-kali. Badan boleh terlihat bugar, namun wajah seseorang memungkinkan kita menebak usia sebenarnya. Saya memperkirakan lelaki itu sudah melewati setengah abad, namun berlari-lari naik turun Baldwin Street tampak sudah biasa baginya. Seolah jalanan curam itu terasa sebagai jalanan yang datar saja baginya.

Ketika sudah sampai di “puncak” Baldwin Street, pemandangan dari atas tidak kalah memesona. Mata saya dimanjakan oleh panorama kota Dunedin, yang dikelilingi oleh lahan pertanian dan padang rumput yang menghijau, lengkap dengan kawanan biri-biri yang bertebaran di sana-sini.

***

Perjuangan mendaki yang harus saya lalui di Mount Eden dan Baldwin Street menyisakan satu pelajaran berharga buat saya tentang ikhtiar seorang anak manusia dalam menggapai suatu “puncak”, tentang perjuangan seorang insan dalam mencapai suatu mimpi atau cita-cita.

Boleh jadi, sebuah tujuan yang ingin dicapai oleh sekian banyak anak manusia adalah sama. Namun, sejauh mana ikhtiar masing-masing orang ternyata banyak berbeda antara yang satu dengan yang lain. Tengoklah perbandingan antara saya dengan pria paruh baya di Baldwin Street itu. Saya harus kepayahan mendaki menuju puncak, mengerahkan sisa-sisa tenaga yang saya miliki. Sementara lelaki itu dengan bugarnya mendaki jalan curam itu dengan berlari, buah dari latihan keras yang ditempuhnya selama ini. Namun begitu sampai di puncak, kami akan disuguhkan pemandangan elok yang sama: panorama kota Dunedin dan sekitarnya. Lika-liku ikhtiar boleh berbeda, namun saya yakin akan selalu ada hikmah dan nilai yang dapat direguk oleh tiap-tiap individu.

Hal ini mengingatkan saya tentang impian-impian yang ingin diwujudkan oleh seseorang dalam kehidupan yang dijalaninya. Sekadar mengambil beberapa contoh, capaian itu mungkin berupa prestasi akademis maupun nonakademis, keberhasilan diterima di sekolah atau kampus impian, atau kesuksesan dalam meniti karier, atau kegemilangan menekuni suatu bisnis.

Perjuangan saya dan beberapa orang teman dalam memperoleh beasiswa pendidikan pascasarjana di negeri orang juga menyuguhkan potret yang berbeda. Alhamdulillah, saya cukup satu kali saja mengikuti proses seleksi beasiswa untuk akhirnya dinyatakan lolos, lalu tanpa kendala berarti saya terbang ke Negeri Kanguru untuk merasakan bangku kuliah di salah satu perguruan tinggi terbaik di dunia. Sementara beberapa teman yang saya kenal harus berusaha ekstrakeras untuk mewujudkan cita-cita yang sama. Ada teman yang baru berhasil memenangkan beasiswa setelah mencoba berulang kali. Ada juga yang baru berkesempatan melanjutkan pendidikan ketika usianya sudah menginjak kepala empat. Dan masih banyak lagi cerita lainnya.

Namun, tentu saya tidak bisa mengharapkan jalan yang saya tempuh akan selalu datar, mulus, dan lancar. Saya teringat akan aktivitas perkuliahan yang saya jalani di kampus University of Queensland (UQ) di Brisbane. Beberapa mata kuliah yang saya ambil terasa cukup menantang. Saya sempat merasa “iri” pada beberapa mahasiswa Australia yang, di mata saya, sepertinya tidak perlu berjuang terlalu keras untuk memperoleh nilai “High Distinction”, sementara saya terkadang harus jungkir balik sedemikian rupa untuk mendapatkan nilai yang memadai untuk bisa lulus suatu mata kuliah. Namun, di balik kesulitan dan tantangan semacam ini, selalu ada hal positif yang dapat saya serap dan menjadi tambahan bekal dalam melanjutkan kehidupan.

Derajat ikhtiar yang berbeda juga terlihat dari capaian-capaian yang lain dalam kehidupan, misalnya saja dalam upaya menemukan tambatan hati. Di antara orang-orang yang saya kenal, ada yang sudah mempersunting gadis pilihannya hanya dalam hitungan bulan atau bahkan dalam hitungan minggu setelah lulus kuliah. Namun ada pula yang harus menunggu bertahun-tahun lamanya untuk menemukan pendamping hidup.

Namun sekali lagi, saya yakin, ada hikmah luar biasa yang hendak Tuhan berikan dalam kondisi dan ikhtiar yang tidak sama pada masing-masing orang. Untuk mereka yang dapat menggenapkan separuh agama lebih awal, mereka memiliki banyak kesempatan untuk melipatgandakan rasa syukur dan mempercepat pendewasaan diri. Sementara untuk mereka yang harus melewati tahun-tahun penuh penantian, semoga masa tunggu itu dapat dimanfaatkan sebaik mungkin untuk mematangkan perbekalan diri, sehingga mereka benar-benar dalam keadaan siap ketika dipertemukan dengan seseorang yang akan mereka sebut sebagai belahan jiwa.

Yang saya tahu, saya harus berikhtiar sekuat tenaga, dan percaya pada kekuatan doa. Mensyukuri apa yang ada dalam diri, tanpa perlu memperturutkan dengki dan iri hati kepada orang lain. Dalam perjuangan menuju puncak, akan selalu ada cerita yang berbeda-beda antara saya dan mereka. Dan ketika tiba di puncak sana, akan saya temukan kesimpulan yang menggetarkan jiwa: bahwa skenario Tuhan memang luar biasa…

 

 

[Gambar: Metropolitan Auckland dilihat dari Mount Eden (dok. pribadi)]


Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Categories

%d bloggers like this: