Seperti biasa, siang itu Patung Merlion di kawasan Marina Bay, Singapura, ramai dikunjungi oleh pelancong. Di depan lensa kamera, mereka mengambil aneka pose, mulai dari sekadar tersenyum lebar hingga pose-pose aneh yang menggelikan, dengan latar belakang tengaran (landmark) khas Singapura berupa patung berkepala singa dan berbadan ikan itu.
Saya menyapukan pandang ke sekeliling Patung Merlion. Di siang cerah seperti ini, kawasan Marina Bay seakan mengeluarkan seluruh daya tariknya. Di sinilah jantung Negeri Singa berdenyut. Di kawasan inilah para profesional berbondong-bondong mencari peruntungan dan bersaing ketat memperebutkan posisi-posisi penuh prestise. Para wisatawan bertandang dan mengagumi pesona negeri mungil ini, menyelingi warga lokal ataupun ekspatriat berpakaian rapi yang berjalan terburu-buru dalam ritme kehidupan yang serbacepat.
Di seberang sana, terlihat The Esplanade yang menyerupai durian, Singapore Flyer yang seakan berputar tanpa henti, serta Marina Bay Sands yang tampak bagaikan tiga batang pohon tinggi menyangga sebuah kapal besar. Di belakang Patung Merlion, berdiri tegak bangunan bersejarah The Fullerton Hotel serta gedung-gedung pencakar langit Raffles Place. Patung legendaris ini terletak persis di mulut Sungai Singapura. Di kanan dan kiri sungai, berjajar puluhan restoran dan kafetaria yang menawarkan aneka sajian penggugah selera, dan tampak gemerlap ketika gelap malam mulai menyapa negara kota ini.
Sudah tiga kali saya bertandang ke Negeri Singa ini, namun tetap saja saya tak henti berdecak kagum ketika menyusuri jalanannya, menghirup udaranya, dan mencermati setiap sudutnya. Setiap kali kaki melangkah, semuanya terasa mendekati sempurna. Orang bilang, too good to be true. Saya mencoba menyusuri trotoar di Tanjong Pagar, menggunakan kereta Mass Rapid Transport (MRT) mengelilingi pulau, berjalan di antara blok-blok apartemen masyarakat kelas menengah di Choa Chu Kang, memasuki lorong waktu di museum nasional, dan menikmati sudut-sudut lengang di sekitar Upper Seletar Reservoir. Di mata saya, semuanya begitu memukau, dengan perhatian pada detail yang mengagumkan.
Saya teringat celetukan seorang teman ketika kami bersama-sama menyeberangi Selat Singapura dari Batam Harbour Bay menuju Harbourfront Singapura, “Ini negara sebenarnya gak punya apa-apa, tapi kok bisa hebat bener gini ya?”
***
Ya, sampai hari ini pun saya masih sering terkagum-kagum melihat bagaimana Singapura ditata sebagai sebuah negara. Setengah abad yang lampau, mungkin pemimpin maupun masyarakat Singapura tidak menyangka bahwa pulau mungil yang mereka sebut rumah akan bertransformasi sedemikian rupa menjadi seperti sekarang.
Saya pernah menyaksikan sebuah video yang menunjukkan bagaimana pemimpin Singapura, Lee Kuan Yew, meratapi keputusan Kuala Lumpur mengeluarkan Singapura dari Federasi Malaysia, setelah semakin meruncingnya perbedaan pendapat antara Kuala Lumpur dan Singapura. Mungkin Tuan Lee tidak bisa membayangkan bagaimana Singapura harus menjadi negara mandiri yang terpisah dari Malaysia, sementara pulau itu dihadapkan pada keterbatasan sumber daya yang sangat, bahkan sekadar air bersih pun harus didatangkan dari Semenanjung.
Namun, sejarah menyaksikan bagaimana air mata Tuan Lee berubah menjadi semangat dan perjuangan tak terbendung untuk menjadikan Singapura sebagai sebuah negara yang berdaulat, maju, dan disegani. Lihatlah apa yang dimiliki oleh negara tersebut kini. Perekonomian yang paling maju di Asia Tenggara, tingkat kesejahteraan yang tinggi, infrastruktur yang sangat mapan, kota yang tertata demikian teratur, penduduk yang taat aturan, kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan berkelas dunia, daya saing yang mumpuni, kondisi dalam negeri yang stabil, dan masih banyak lagi keunggulan lainnya. Negeri itu memang tidak memiliki apa-apa jika semata dilihat dari luas wilayah dan sumber daya alam, namun ia telah memiliki segala hal untuk disebut sebagai sebuah negara maju.
Saya menyebutnya “kecil, tetapi berdaya”. Mungil, namun disegani. Kisah Singapura sungguh memberikan pelajaran luar biasa mengenai keseriusan dan perjuangan sebuah bangsa untuk bergerak maju, meski modal mereka terbilang terbatas. Namun, mereka berhasil membuktikan kepada dunia bahwa mereka demikian pintar dan tangguh dalam menyiasati keterbatasan sumber daya, dan justru mengubah keterbatasan menjadi keberhasilan. Dengan kepala tegak, mereka bangga pada negeri mereka dan siap bersaing di kancah global.
Tentu, saya tidak memungkiri bahwa kemajuan negara tetangga kita itu dicapai dengan mengorbankan banyak hal, sebagaimana dapat dilihat antara lain dari terbatasnya kebebasan berekspresi masyarakatnya dan represifnya pemerintah yang berkuasa. Namun, setidaknya, keseriusan dan perjuangan mereka mencapai kemajuan sungguh layak diapresiasi.
Kisah bangsa yang kecil namun berdaya ini sebenarnya dapat kita temukan pula pada bangsa-bangsa Eropa di masa lalu. Tentu kita mengecam imperialisme dan kolonialisme beserta segala kebijakan negatif yang menyertainya, namun bolehlah kita mengambil pelajaran berharga dari ketangguhan mereka menyiasati beragam keterbatasan. Di kampung halaman mereka di Benua Biru, bangsa-bangsa Eropa harus berhadapan dengan aneka rupa tantangan, seperti kebutuhan yang tinggi akan rempah-rempah dari Dunia Timur, peperangan dengan bangsa-bangsa tetangga, dan keterbatasan sumber daya alam.
Berbagai tantangan itu, disertai semangat menggelora beroleh kekayaan dan menyebarkan keyakinan, mendorong mereka mencengkeramkan kuku kekuasaan di berbagai tempat di seluruh dunia, yang luasnya berkali-kali lipat dari tanah asal mereka di Eropa.
Spanyol dan Portugal, yang semula hanya menempati Semenanjung Iberia yang sempit di barat daya Eropa, mengarungi tiga samudra dan menguasai berbagai negeri. Hampir seluruh daratan Amerika Tengah dan Amerika Selatan pernah berada dalam genggaman mereka. Kerajaan Inggris, yang semula hanya menguasai Pulau Britania dan Pulau Irlandia di lepas pantai Benua Eropa, pernah menjadi sebuah imperium besar yang memiliki tanah jajahan di enam benua. Belanda, yang hanya berupa negeri kecil, pernah menguasai kepulauan Nusantara. Hasil kolonialisme bangsa-bangsa tersebut turut berkontribusi terhadap mengalirnya pundi-pundi kekayaaan sebagai modal untuk membangun negeri-negeri mereka, sehingga mereka menjadi kampiun dan pelopor peradaban dunia di kemudian hari.
Kisah bangsa-bangsa yang kecil namun berdaya itu kemudian membawa saya pada perenungan mengenai negeri saya sendiri. Tanah Air tempat saya lahir dan dibesarkan adalah negeri yang telah dibekali oleh Tuhan dengan begitu banyak bekal dan sumber daya. Sumber daya alam melimpah dan tersebar di seluruh pelosoknya. Jumlah penduduknya besar, mayoritas berusia muda dan enerjik. Ia menjadi demokrasi terbesar ketiga di dunia. Juga ada nilai-nilai agama dan nilai-nilai positif budaya bangsa yang menjadi tuntunan masyarakatnya.
Namun nyatanya, dengan sumber daya yang demikian melimpah, bangsa besar ini masih juga harus mengalami ketertinggalan dalam banyak aspek kehidupan. Padahal, semua potensi dan keunggulan yang dimilikinya dapat menjadi modal yang sangat berharga untuk bergerak maju dan mencapai kemajuan. Beribu sayang, di dalam negeri kita masih berkutat pada kepentingan sesaat dan perselisihan antarkelompok, membuat kita lupa akan sasaran-sasaran besar yang seharusnya didukung dan diusung oleh seluruh komponen bangsa.
Sudah menjadi kewajiban saya untuk menyisakan ruang optimisme untuk kemajuan bangsa di masa depan. Ya, saya adalah bagian dari anak bangsa yang memimpikan bahwa bangsa ini akan mewujud menjadi bangsa yang maju, berdaya, dan disegani. Saya juga harus mengasah perbekalan saya sejak dini, sehingga dapat berkontribusi optimal dan mengemban amanat yang lebih berat di masa yang akan datang.
Ada negeri-negeri mungil dengan sumber daya minim, namun bisa bergerak maju dan memiliki segalanya. Bagaimana dengan Tanah Air saya yang telah dibekali dengan sumber daya yang demikian melimpah?
[Gambar diambil dari sini]
Siap Prof, selalu optimis ya. Insya Allah.
By: abah shofi on 12 February 2016
at 5:51 pm
Insyaallah, Ust 🙂
By: salimdarmadi on 15 February 2016
at 6:00 pm
Enak baca tulisan nya prof.. Saya baru mulai nih 😀
By: abah shofi on 15 February 2016
at 7:45 pm
Punya Abahnya Shofi juga mantap tuh. Diasah terus, insyaallah makin cetar Pak… 😀
By: salimdarmadi on 17 February 2016
at 4:18 pm
Lha iya, ini sy suka baca tulisan-tulisannya prof. jadinya agak terpengaruh nyastra nya. 😀 padahal baru belajar ngeblog.
Memang apa yang dibaca tu mempengaruhi sekali ya prof. Tapi Insya Allah tulisan prof memang inspiring.
Ijin ngelanjutin baca2nya yah 😀
By: abah shofi on 17 February 2016
at 4:34 pm