Posted by: Salim Darmadi | 2 September 2019

Menemukan Sudut Sunyi di Tengah Ingar-Bingar

Saya bertemu dengan seorang ibu asal Brunei Darussalam ketika mengikuti sebuah seminar di Malaysia. Saya memanggilnya Puan Halimah. Ia menjabat sebagai direktur di salah satu institusi pemerintahan di negeri tempat bertakhtanya Sultan Hassanal Bolkiah itu.

Seperti biasa ketika mengikuti sebuah seminar internasional, saya memanfaatkan waktu-waktu coffee break untuk berbincang ringan dengan sesama peserta. Saya memilih menceritakan pengalaman saya ketika berkunjung ke kesultanan di bagian utara Pulau Borneo itu beberapa tahun sebelumnya.

“Puan Halimah, bagi saya Bandar Seri Begawan memang kelihatan terlalu sepi. Namun karena sehari-hari saya terbiasa dengan keadaan Jakarta yang selalu hiruk-pikuk, sekali-kali sepertinya saya perlu menikmati suasana sepi dan damai seperti di Bandar Seri Begawan.”

Puan Halimah tertawa dan berkata, “Yes, that’s why it’s called Abode of Peace’…”  

Abode of peace (rumah penuh kedamaian) adalah makna dari kata “Darussalam”, yang disematkan di belakang nama Brunei. Dan saya sepertinya tidak menemukan kesenjangan antara nama yang disandang negeri ini dengan kondisi riil yang saya temui di lapangan.

Suasana kota Bandar Seri Begawan cenderung tenang, jauh dari ingar-bingar yang biasa terlihat di kota terbesar sebuah negara. Dengan lalu-lintas yang tidak begitu ramai, tentu kemacetan menjadi barang langka. Bahkan Kampong Ayer, permukiman padat di atas sungai yang menjadi rumah bagi tiga puluh ribu penduduk serta water taxi yang hilir mudik, pun jauh dari aura hiruk-pikuk. Masjid megah Omar Ali Saifuddin, dengan kubah emasnya, mendominasi kaki langit ibu kota.

Jangan bandingkan kehidupan malam ibu kota kesultanan ini dengan sudut-sudut happening di Jakarta, Singapura, Kuala Lumpur, atau Bangkok. Selain itu, minuman keras dan klab malam adalah barang haram di negara mungil ini. Bahkan ketika menonton sebuah video iklan pariwisata Brunei, yang terasa adalah suasana syahdu karena salah satu bagian utama yang ditampilkan adalah suasana tafakur dan ibadah di masjid-masjid besar seperti Masjid Omar Ali Saifuddin dan Masjid Jame Asr Hassanil Bolkiah.

Tak heran, Brunei Darussalam terbilang sebagai tujuan wisata yang membosankan di mata para pelancong Barat atau para pejalan yang ingin merasakan suasana gegap-gempita layaknya daerah tujuan wisata. Namun, merasakan sejenak bagaimana kehidupan di Brunei bergulir justru membuat saya merasa damai. Ritme kehidupan memang terasa lambat. Tidak banyak atraksi turisme yang bisa dilihat. Namun, ada banyak momen bertafakur setiap kali kaki melangkah. Saya merasa lepas dari suasana ramai dan ingar-bingar yang biasanya setia mengelilingi saya. Saya menikmati suasana tenang, tanpa harus menyendiri atau mengasingkan diri di suatu tempat atau waktu.

***

Dalam perjalanan ke negeri orang, seringkali tempat yang menjadi tujuan saya adalah ibu kota atau kota terbesar suatu negara, semacam Tokyo, Seoul, Sydney, dan Auckland. Maka, suara ingar-bingar sebuah kota besar acapkali mewarnai cerita perjalanan saya. Ada gedung-gedung pencakar langit di central business district dengan segala denyut aktivitasnya. Orang yang lalu-lalang tanpa henti dari pagi buta hingga larut malam. Kendaraan bermotor dengan berbagai tingkat suara mesin yang terkadang memekakkan telinga. Persimpangan jalan besar tempat tumpah ruahnya manusia dan kendaraan. Kemacetan yang tak terhindarkan pada jam-jam sibuk. Begitu seterusnya.

Maka, kisah yang sering mewarnai perjalanan saya adalah bagaimana agar sukses bertahan hidup sekaligus menyelesaikan sekian target di kota-kota besar. Saya sibuk mengecek peta untuk memastikan bahwa saya sudah mengambil jalan yang benar agar bisa mencapai suatu tempat di tengah belantara beton Tokyo. Saya mencermati letak stasiun dan jadwal transportasi umum di Kuala Lumpur agar terhindar dari keharusan menggunakan teksi yang seringkali payah kualitas pelayanannya. Di berbagai tempat dalam perjalanan dinas ke luar negeri, pagi hari hampir selalu saya lewatkan dengan berjalan terburu-buru atau deg-degan ketika terjebak macet, karena saya hanya akan mempermalukan nama bangsa jika sampai terlambat datang di lokasi penyelenggaraan seminar.

Saya tenggelam di tengah keramaian turis di Orchard Road ataupun Sky Tower, sekadar untuk mendapatkan kepuasan batin bahwa kunjungan saya ke Singapura atau Auckland sudah sah. Saya sibuk mencari tempat makan yang enak dan halal dalam keadaan perut kelaparan di tengah padatnya Bangkok. Saya memutar otak agar waktu yang singkat di Paddy’s Market atau Chatuchak Market dapat dioptimalkan untuk membeli oleh-oleh yang cukup untuk dibagikan kepada kerabat dan sahabat di Tanah Air. Tak lupa, saya sibuk mengambil foto suatu tempat terkenal ataupun foto diri, dan kemudian segera mengunggahnya ke kanal-kanal media sosial yang saya miliki.

Ketika sedang bepergian seorang diri pun, saya sibuk membuat diri saya tetap terhubung dengan orang lain. Entah dengan berinteraksi dengan warga lokal, berbincang dengan sesama pelancong, atau mengusir sepi dengan memantau linimasa media sosial. Saya lalu berpikir, kapan saya menemukan waktu untuk menyerap pembelajaran dari lawatan yang saya lakukan, apabila saya selalu dikelilingi oleh suasana ingar-bingar setiap saat?

***

Saya rasa, di sinilah pentingnya solitude. Ketika manusia terbiasa dengan suasana yang penuh kebisingan dan gegap-gempita, tetap ada saat-saat di mana ia perlu sejenak menyendiri, termasuk ketika sedang melawat ke sebuah negeri antah-berantah. Saya harus menemukan waktu dan tempat ketika saya dapat berbincang dengan diri sendiri, dalam kondisi hening yang jauh dari hiruk-pikuk manusia dan peradabannya. Dengan suasana yang tenang ini, saya merenungi kembali lawatan yang saya lakukan, serta berbagai peristiwa yang telah saya lalui dalam perjalanan kehidupan.

Karena itu, di sela-sela menikmati suasana gegap-gempita ketika melawat ke sebuah tempat, saya berusaha mengalokasikan waktu untuk menyendiri sejenak, melepaskan dari dari segala ingar-bingar duniawi, juga menghindar dari perangkat gawai. Saya yakin, pada saat-saat semacam itulah saya memiliki peluang yang lebih besar untuk mengasah kepekaan batin, mendengarkan lebih saksama suasana nurani, mensyukuri dan mengapresiasi anugerah kehidupan, mengambil hikmah berharga, atau mungkin menemukan jawab atas sebuah kegalauan hati.

Ketika berkunjung ke Negeri Singa, setelah merasakan gegapnya Orchard Road dan Pulau Sentosa, saya menyambangi sudut-sudut damai di tepian Upper Seletar Reservoir. Selepas menelusuri gemerlap Kuala Lumpur City Centre dan Bukit Bintang, saya menikmati Taman Tasik Perdana. Setelah menghirup udara pusat kota Melbourne, saya menyendiri di sudut taman kota di tepi Sungai Yarra. Sebakda menjelajahi kota Auckland yang menjadi rumah bagi seperempat penduduk Negeri Kiwi, saya menikmati keheningan di sekitar Mount Eden. Saya menikmati pusat kota Copenhagen dan Wellington ketika hari masih pagi sekali dan belum banyak orang memulai aktivitas.

Bagaimana ketika saya telah kembali ke rumah? Untuk menemukan sebuah suasana sunyi dan damai, seharusnya mudah bagi saya. Di rumah ketika malam mulai larut atau menjelang fajar, di masjid terutama di antara waktu-waktu shalat, atau di taman dan telaga kecil yang hanya berjarak sepelemparan batu dari rumah. Jadi tinggal tergantung pada kemauan saya untuk memanfaatkan baik-baik kesempatan tersebut. Masalahnya, kadang saya sudah terlampau asyik untuk selalu berada di suasana hiruk-pikuk, untuk selalu berada di tengah sekumpulan orang, untuk menegaskan eksistensi diri lewat berbagai cara, dan juga tidak lepas dari segala perangkat elektronik dan gawai. Semua itu justru menumpulkan rasa kebutuhan saya akan suasana sunyi untuk berkontemplasi.

Karena itu, di tengah segala aktivitas dan kesibukan, saya harus menyempatkan diri untuk merenung dalam suasana hening. Tentu bukan untuk berlama-lama larut menikmati keheningan. Karena tidak seharusnya saya memisahkan diri dari kehidupan sosial dan perkembangan zaman. Meskipun di luar sana ada banyak sekali hal yang berpotensi membawa dampak buruk bagi kualitas pribadi. Perenungan itu lebih sebagai sarana menambah kembali bekal untuk melanjutkan perjalanan kehidupan, dan mempersembahkan karya terbaik dalam rentang usia yang singkat…

 

 

Gambar: Masjid Omar Ali Saifuddin, Bandar Seri Begawan (dok. pribadi)


Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Categories

%d bloggers like this: