Posted by: Salim Darmadi | 19 September 2019

Menjaga Kewarasan di Keriuhan Media Sosial

“Du, kowe gak nduwe Facebook to?” tanya saya.

Mbiyen nduwe, Mas, ning terus tak hapus.”

“Twitter?”

Nduwe, tapi lali password-e, hehehe.”

“Terus, Instagram?” kejar saya.

Gak nduwe!”

Saya cuma manggut-manggut, setengah ndlongop saking gumun-nya. “Peh, kowe kok ansos men to yo…”

“Hehehe…” Si Badu cuma cengengesan mendengar vonis saya. Batin saya, masih ada ya bocah enom zaman sekarang yang bisa melepaskan diri dari hiruk-pikuk gegap-gempita medsos. Saya saja, yang lebih tua beberapa tahun dari dia, kadang merasa kelamaan menghabiskan waktu bermedsos ria. Beginilah nasib xennial (antara generasi-X dan milenial). Emoh ngaku gen-X, tapi terlalu tua untuk disebut milenial, hahaha.

Pernah satu ketika ada kawan lama menyapa saya (embuh saya lupa via Facebook Messenger atau Instagram Direct Message), “Apa kabar, Mas? Saya lihat Mas Salim eksis banget beberapa hari terakhir!” Saya hanya bisa cengengesan karo kisinan, sekaligus terharu ada kawan yang perhatiannya sampai sedemikian. Mungkin ketika itu saya lagi kurang gawean terus bola-bali posting, sehingga kesannya jadi eksis banget gitu sampai mengotori timeline, hehehe.

Mbak Mawar (bukan nama sebenarnya juga), seorang senior di kantor, punya cerita lain lagi. Obrolan kami waktu itu menyentuh soal fenomena medsos terkini.

“Kadang sumpek gue tuh kalau buka Facebook. Ada teman yang sampai gue unfriend, terus gue bilang ke dia: ‘Sorry ya, kita tetap temenan di dunia nyata. Tapi pandangan elu terlalu ekstrim bedanya sama gue, jadi gue terpaksa unfriend elu di Facebook’.”

Unik juga nih sesembak. “Lah, Mbak, elu ngapain bilang-bilang dia? Kalau mau unfriend mah, ya unfriend aja gak usah bilang-bilang,” komentar saya.

“Kalau gue gak bilang, cepat lambat dia juga bakal tahu. Makanya mending gue bilang!”

Hmm, makes sense juga sih.

Begitulah, cara orang menjaga kewarasan di tengah keriuhan dunia maya memang berbeda-beda. Si Badu memilih untuk menarik diri dari semua kanal medsos. Saya mbayangne mesti bocah kuwi uripe tentrem tenan. Tidak perlu tersulut emosi, tidak perlu tahu perbedaan pandangan politik di kalangan kawan dan kerabat, bebas dari iri-dengki dan penyakit hati. Meski mungkin dia bakal kudet, gak nyambung dengan topik yang lagi ngetren atau yang lagi jadi bahan eker-ekeran netizen. Sebuah pilihan pasti ada konsekuensinya ya. Yang jelas, saya ndak bisa nek harus mengikuti langkah Badu.

Ada juga yang memilih unfriend atau unfollow untuk menjaga kewarasan diri, seperti Mbak Mawar (meski yang dia lakukan rodo ekstrim karena pakai acara notifikasi langsung, hehehe). Ini juga yang tidak bisa saya lakukan. Saya memilih membuka diri terhadap semua postingan kontak Facebook saya. Ketika rasa semremet muncul karena melihat pro-kontra berseliweran, saya mengingatkan diri sendiri, “Harap bersabar, ini ujian!” Makanya saya cuma unfollow akun yang keseringan upload tampang sendiri atau yang sedikit-sedikit curhat gak penting, hehehe.

Bagaimana pun, medsos (khususnya Facebook) tetap memberikan manfaat tersendiri buat saya. Cuma dengan skrol dan nutuli henpon, saya bisa tahu kabar terkini dari kawan dan kerabat. Ada yang postingannya lucu dan menghibur penuh sindiran cerdas. Ada yang postingannya sangat berfaedah dan menjadi pengingat buat saya yang kerap lalai. Yah, meskipun ada juga yang postingannya membuat kening berkerut (dan bikin saya mbatin, “Arek iki karepe opo seh?”). Ada juga postingan yang membuat saya tidak bisa menahan diri untuk tidak memutar bola mata saya (padahal sakjane wong liyo juga mungkin rolling their eyes ndelok postingan geje saya, hahaha).

Situasi jadi sedikit runyam kalau topik yang dibahas di medsos adalah soal polemik yang berkembang (sik sik, nek dipikir-pikir ketoke ki polemik di Tanah Air kok gak entek-entek ya? Adaaa aja. Saya, apalagi posisi lagi di benua seberang, rumongso lelah hayati kalau harus mengikuti semua dinamika berikut pro-kontranya yang nggarai dunesu karo dunangis). Saya tentu punya prinsip dan pendirian sendiri terkait berbagai polemik yang berkembang itu. Kalau terlalu lama mantengin linimasa Facebook, saya bisa semremet membaca sekian banyak postingan yang berbeda dengan pendirian saya. Tapi masing-masing orang tentu berhak posting apa saja ya, selama dia pakai otak dan tahu konsekuensinya. Ning ya itu. Saya ndak tertarik memancing gelut, ngajak gelut, apalagi ngladeni gelut di dunia maya. Selain itu, sebagai pegawai lembaga negara, saya harus berpegang pada dua kata: Salam NTRL!

Kalau misalkan ada yang tanya (padahal gak onok sing takon), bagaimana cara saya menjaga kewarasan di tengah hiruk-pikuk medsos? Prinsip saya adalah “the logout button is always there”. Saya jadi lebih menikmati kanal medsos sebelah. Menikmati foto-foto ciamik dari fotografer andal, me-like momen penuh kenangan yang diabadikan kawan-kawan saya di feed mereka, atau ngguya-ngguyu ngeliat Instastory. Tentu saya tetap nengok Facebook saya, dan kadang nyetatus panjang koyo ngene, hehehe. Yang penting, saya harus tahu batas, mengontrol diri untuk tidak berlama-lama medsosan (njuk stres ndelok proposal riset PhD saya yang belum ketahuan bentuknya, hehehe).

Pagi tadi ada kawan menyapa saya di Instagram Direct Message, mengatakan bahwa dia berkali-kali terhibur dengan postingan Instastory saya. Saya mung iso ngucap alhamdulillah. Semoga postingan saya menghibur, syukur-syukur bermanfaat.

Foto tidak terkait dengan artikel (matur nuwun, Pak Haji Satrio!). Jaman semono neng kutho Solo. Lumayan buat meden-medeni serangga yang mulai bermunculan seiring berlalunya musim dingin…


Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Categories

%d bloggers like this: