Memasuki terminal kedatangan Christchurch International Airport, Selandia Baru, saya segera melangkah menuju konter pemeriksaan imigrasi. Saya mengantre sambil berdebar-debar. Setelah selama delapan bulan tinggal di Brisbane, ini pertama kalinya saya pergi ke luar wilayah Australia.
Saya sempat melihat sekilas orang-orang yang mengantre di sebelah kanan dan kiri saya. Kebanyakan orang kulit putih. Saya juga mendapati beberapa orang berwajah Mongoloid. Sepertinya hanya saya satu-satunya orang yang berwajah melayu.
Giliran saya tiba. Saya bergegas menghadap seorang petugas imigrasi Selandia Baru. Lelaki kulit putih berusia sekitar empat puluh tahun. Sambil menyapanya, saya letakkan paspor saya beserta tiket penerbangan pergi-pulang dan bukti pemesanan akomodasi di atas meja.
“Good afternoon, Sir,” balasnya dengan menggunakan bahasa yang sangat formal.
Ia membuka paspor saya, lalu membandingkan wajah saya dengan foto yang ada di paspor. Diperiksanya visa pelajar Australia saya, lalu visa turis yang saya terima dari kantor imigrasi Selandia Baru di Sydney.
“Is it your first visit to New Zealand, Sir?” tanyanya sambil sesekali mengamati saya.
“Yes, it is,” jawab saya.
“Where are you going in New Zealand?”
“I plan to travel around South Island for one week, and then I’ll cross the strait to North Island.”
Akhirnya, ia membubuhkan stempel izin masuk Selandia Baru di salah satu halaman paspor saya. Alhamdulillah, akhirnya saya bisa bernapas lega. Setelah membeli nomor seluler lokal, saya segera melangkah menuju perhentian bus, moda transportasi termurah untuk mengantar saya menuju pusat kota Christchurch.
Saya hanya bisa tersenyum ketika mengingat berdebar-debarnya saya di pemeriksaan imigrasi tadi. Tentu saya bisa memaklumi kehati-hatian seorang pegawai imigrasi tersebut ketika hendak mempersilakan orang asing untuk memasuki wilayah negaranya. Saya sendiri juga harus sadar diri karena saya akan memasuki “rumah” orang lain. Dalam rangka kulo nuwun itu, dari jauh-jauh saya sudah mencari informasi tentang persyaratan dan prosedur yang berlaku. Saya berjibaku melengkapi dokumen-dokumen permohonan visa, mengirimkan paspor dan dokumen tersebut ke Sydney, menunggu visa disetujui, hingga akhirnya menjalani pemeriksaan imigrasi dan kepabeanan di bandara Christchurch.
Itu baru mencakup tata krama sebelum memasuki “rumah” orang lain. Pun ketika saya sudah menginjakkan kaki di wilayah negara asing itu, saya harus menunjukkan rasa hormat saya terhadap peraturan ataupun tata perilaku yang menjadi pegangan masyarakat setempat. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Tentu dengan tetap menaruh perhatian pada prinsip dan keyakinan yang harus saya pegang teguh.
Ketika menaiki Keretapi Tanah Melayu (KTM) di Kuala Lumpur, Malaysia, saya menjumpai papan informasi berisi hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh penumpang. Di samping larangan standar seperti membuang sampah, menempelkan permen karet, dan membawa binatang peliharaan, juga ada larangan agar tidak “berkelakuan sumbang” (indecent behavior). Bentuknya berupa gambar siluet laki-laki dan perempuan bercumbu yang dicoret. Tentu, siapa pun yang menaiki moda transportasi KTM harus mematuhi peraturan ini, baik orang Malaysia sendiri maupun orang asing.
Di negara-negara Barat, pemandangan sepasang pria-wanita bermesraan sambil bercumbu di tempat-tempat publik memang menjadi pemandangan yang sangat lumrah. Namun, tentu kasusnya menjadi berbeda ketika berada di negara-negara yang masyarakatnya masih menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan budaya. Demikian juga soal pakaian yang dikenakan. Saya pernah membaca sebuah buku panduan perjalanan (travel guide) yang menganjurkan agar pejalan, khususnya pejalan perempuan, mengenakan pakaian yang lebih tertutup ketika mengunjungi negara atau daerah tertentu yang penduduknya lebih “konservatif”, terutama ketika menyambangi sebuah rumah ibadah.
Saya teringat kata-kata Rebecca, salah seorang instruktur saya dalam program pembekalan akademis di Jakarta sebelum saya terbang ke Negeri Kanguru untuk menempuh studi pascasarjana. Perempuan Australia itu telah bertahun-tahun tinggal di Jakarta, dan bersuamikan orang Indonesia.
“Setelah beberapa tahun tinggal di Indonesia, pandangan saya tentang kesopanan berpakaian pun berubah. Standar saya sekarang sama seperti standar orang Indonesia kebanyakan. Ketika saya pulang ke Perth, justru saya mengalami culture shock melihat gaya pakaian gadis-gadis muda di sana, terutama di musim panas. Saya terkejut dan membatin, ‘Oh my God, what the bloody clothes worn by these kids?’” tutur Rebecca panjang lebar dengan gayanya yang jenaka. Saya dan teman-teman sekelas yang mendengarnya tertawa riuh.
Ternyata peribahasa “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” tidak semata-mata berlaku ketika mengunjungi suatu negara. Ketika bergabung dengan sebuah komunitas baru, kadang kala ada kemauan yang kuat untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan yang sudah berlaku di komunitas tersebut.
Tengoklah Pak Haron, seorang mahasiswa doktoral asal negeri jiran, yang sering berinteraksi dengan komunitas Indonesia di Brisbane. Mungkin dengan maksud agar Pak Haron tidak kebingungan dan tidak merasa terisolasi ketika kami sedang berdiskusi bersama, beberapa kawan sengaja menggunakan kata-kata yang lebih pas dalam bahasa Melayu.
Ternyata Pak Haron berpendapat lain. Satu ketika ia berterus terang kepada kami, “Brothers, tolong jangan cakap bahasa Malaysia. Biar saya boleh belajar bahasa Indonesia…”
Rupanya Pak Haron ingin mengasah keterampilannya berbahasa Indonesia. Ketika berkunjung ke tempat tinggalnya, saya lihat sebagian koleksi bukunya adalah buku-buku keislaman terbitan Indonesia. Kemampuan berbahasa Indonesia ia perlukan agar dapat memahami isi buku-buku tersebut dengan baik.
Tetiba saya teringat hal serupa yang dilakukan oleh para penyeru dakwah yang tiba di tanah Nusantara ratusan tahun silam. Mereka memang orang asing, datang dari negeri-negeri yang jauh. Namun, mereka bertutur dalam bahasa penduduk setempat, menyebarkan pesan-pesan ilahiah secara memikat. Akhirnya, dalam kedamaian, Islam diterima secara luas di berbagai penjuru negeri kepulauan ini. Dari Aceh hingga Halmahera, dari Natuna hingga Sumbawa.
[Gambar diambil dari sini]
Leave a Reply