Saya dan beberapa rekan Indonesia berkerumun mencermati gambar-gambar iklan yang terpampang di dinding kaca, di depan kantor sebuah agen properti di pinggiran Brisbane. Aneka pendapat pun berhamburan dari mengomentari iklan-iklan itu.
“Rumah ini luas, tapi dia masih unfurnished. Nanti kerepotan kita kalau harus cari dan beli perabotan segala macam…”
“Kalau flat yang ini kayaknya bagus, sudah furnished dan dekat kampus pula. Sayang sewanya mahal bener, empat ratus Dollar per week!”
“Eh, kemarin gue sudah dikontak balik sama mahasiswa Indonesia yang ngiklanin rumahnya. Kapan nih kita bisa inspect ke sana?”
“Nah, kalau yang ini sebenarnya cocok banget. Kecil sih, cuma dekat kampus dan termasuk murah. Pasti yang apply juga bakal banyak banget! Pilih yang mana nih kita?”
Waktu itu minggu kedua kami di Negeri Kanguru. Kami pun sudah mulai mengikuti program pembekalan akademik di kampus University of Queensland (UQ) di St Lucia. Minggu sebelumnya, setelah menempuh penerbangan yang cukup lancar Jakarta-Sydney dan kemudian Sydney-Brisbane, saya disambut hangat oleh seorang mahasiswa Indonesia yang berbaik hati memberikan tumpangan sementara, hingga saya mendapatkan tempat tinggal permanen nantinya.
Hari-hari pertama di ibukota negara bagian Queensland ini kami lalui dengan penuh antusias and semangat, meski tubuh harus menyesuaikan diri dengan temperatur musim dingin. Kami berkeliling areal kampus dan mengeksplorasi berbagai sudut kota Brisbane. Apalagi kami kemudian berkenalan dengan banyak sesama anak bangsa di tanah rantau ini. Dengan senang hati mereka memberitahu dan mengantar kami mengaktifkan rekening bank, melaporkan kedatangan kepada staf universitas, menggunakan transportasi publik, hingga berbelanja kebutuhan sehari-hari.
Namun, masa-masa penuh keceriaan di awal kedatangan di Brisbane tidak berlangsung lama. Benarlah apa yang pernah disampaikan oleh instruktur saya dalam program pembekalan di Jakarta sebelum keberangkatan saya ke Australia, bahwa setelah masa “bulan madu” pada hari-hari pertama di sebuah negeri asing, saya akan segera memasuki fase “gegar budaya”, di mana saya harus berjuang menyesuaikan diri agar dapat bertahan di tengah pola kehidupan di lingkungan asing ini.
Memasuki fase ini, saya dihadapkan pada tantangan pertama: menemukan akomodasi permanen. Dan ternyata di benua selatan ini, menemukan sebuah tempat untuk bernaung ternyata bukanlah persoalan yang sederhana. Rangkaian perjuangan untuk menemukan tempat tinggal di Brisbane sungguh berbeda dengan perjuangan saya yang terbilang sangat ringan dalam menemukan kamar untuk disewa di pinggiran Jakarta. Tinggal datang ke sebuh rumah indekos yang diinginkan dan bertanya apakah ada kamar kosong. Jika sang calon induk semang menyetujui, saya tinggal memboyong barang-barang pribadi dan kemudian membayar uang sewa bulanan secara tunai.
Saya dan rekan-rekan mahasiswa baru harus rajin-rajin mencari informasi mengenai rumah atau flat yang disewakan dari berbagai sumber, seperti agen properti, internet, maupun iklan-iklan yang bertebaran di papan informasi. Ketika menemukan sebuah tempat yang diindikasikan cocok, saya harus membuat janji dengan agen properti untuk melakukan inspeksi atau melihat tempat tersebut secara langsung. Jika dirasa sesuai, saya harus mengisi dan menyampaikan formulir aplikasi permohonan agar dapat menyewa suatu properti. Pada proses aplikasi ini, saya harus bersaing dengan beberapa orang yang meminati rumah atau flat tersebut, yang mungkin saja memiliki kemampuan finansial yang lebih memadai dibandingkan saya yang hanya mengandalkan tunjangan hidup beasiswa. Setelah formulir aplikasi disampaikan, tinggal menunggu dengan berdebar-debar pengumuman hasil seleksi oleh agen dan pemilik properti.
Seandainya aplikasi diterima, ternyata perjuangan belum sampai penghujungnya. Masih berlanjut dengan upaya ekstra mencermati klausul demi klausul kontrak perjanjian sewa sebelum penandatanganan dilakukan. Begitu dokumen kontrak telah ditandatangani, pihak penyewa harus membayar uang jaminan (bond) sebesar biaya sewa empat minggu. Selanjutnya, si penyewa harus pandai-pandai merawat rumah atau flat yang ditinggalinya serta memastikan bahwa uang sewa mingguan selalu dibayar tepat waktu. Apabila terbukti lalai merawat dan tidak disiplin membayar, jangan harap permohonan perpanjangan masa sewa akan dikabulkan.
Memang, kami menyadari berbagai aturan yang ketat dan kompleks itu ditujukan untuk memastikan agar semua pihak terkait melaksanakan kewajibannya dan terpenuhi haknya, baik pemilik properti, penyewa, agen, hingga lembaga pemerintah yang mengawasi. Namun tak pelak, berhadapan dengan kondisi yang terbilang baru seperti ini, ada rasa tertekan yang menghinggapi saya dan rekan-rekan Indonesia sesama mahasiswa baru. Sekitar sepuluh rumah dan flat telah kami tinjau. Sejumlah aplikasi permohonan sewa dikirimkan, dan sebagian berbuntut penolakan.
Setiap kali mengirimkan aplikasi permohonan sewa, kami selalu berdebar-debar menunggu hasilnya. Telepon genggam selalu dipastikan dalam keadaan aktif, agar kami dapat segera mengangkat telepon apabila ada panggilan dari agen. Belum lagi ada rasa tak enak hati kepada tuan rumah yang memberi kami tumpangan tempat tinggal semenatara selama beberapa minggu lamanya. Ah, tak terbayangkan sebelumnya bahwa “sekadar” untuk menemukan atap untuk berteduh, usaha yang harus kami lakukan harus demikian panjang, melelahkan mental dan tenaga…
* * *
Di tempat tidur yang nyaman di ujung kamar, saya terbangun. Selimut tebal masih menyelubungi sekujur tubuh, sementara suara penghangat ruangan terdengar menderu pelan. Jarum pendek jam dinding terlihat mendekati angka enam. Ah, sudah pagi rupanya. Pagi musim dingin seolah selalu menggoda saya untuk melanjutkan tidur setelah mendirikan shalat Shubuh.
Saya bangkit pelan-pelan, lalu membuka pintu kaca geser yang memisahkan kamar ini dengan balkon flat. Dengan masih berbalut jaket tebal, saya berdiri di pagar pembatas balkon. Matahari belum tampak terbit, sementara pagi masih cukup gelap dengan udara yang masih terasa menggigit. Saya menyapukan pandang ke sekeliling flat ini. Persis di seberang balkon, membentang William Dart Park, salah satu taman umum di St Lucia. Terlihat dedaunan dan rerumputan di taman itu basah oleh hujan yang mengguyur semalam. Bau tanah dan rumput basah pun menyeruak segar. Saya menghirup udara pagi dalam-dalam…
Keindahan pagi ini tampak sempurna oleh kelegaan yang luar biasa. Beberapa hari yang lalu, saya dan tiga orang mahasiswa baru asal Indonesia telah resmi menjadi penghuni flat ini. Setelah menunggu dengan berdebar-debar, akhirnya aplikasi kami disetujui. Flat ini tampak “sempurna” di mata kami. Sebuah flat luas dengan empat kamar tidur dan perabotan yang memadai, hanya berjarak sepelemparan batu dari kampus, dan biaya sewa yang terjangkau.
Di tengah rasa tertekan dan hajat yang sangat akan adanya sebuah tempat bernaung, menemukan sebuah akomodasi permanen di negeri asing terasa sebagai sebuah capaian yang begitu berharga buat kami. Dengan bersemangat, kami mengemasi dan memboyong barang-barang dari akomodasi temporer masing-masing, lalu berembuk mengatur tetek-bengek rumah tangga, serta berjibaku menghubungi pihak penyedia listrik, gas, telepon, dan layanan internet. Ketika semua agenda itu telah terselesaikan, kami akhirnya dapat dengan tenang memulai perjalanan menuntut ilmu di ibukota Queensland ini.
Di arah timur laut, tampak perlahan matahari menyingsing, menghangatkan pagi yang mulai menerang di sudut Benua Kanguru ini. Segala puji bagi Sang Maha Pencipta dan Pemberi Rezeki. Sebagaimana sinar mentari yang semburat menghangatkan udara dingin menggigit, sebagaimana siang terang yang menggantikan malam gulita, insyaallah kemudahan akan datang menyusuli kesulitan. Berakit-rakit ke hulu, berenang-berenang ke tepian…
Leave a Reply