Posted by: Salim Darmadi | 21 January 2015

Lebaran Haji dan Masjid Baru di Negeri Jyllands-Posten

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Copenhagen Grand Mosque di kawasan Rovsingsgade, Copenhagen

Pesawat Scandinavian Airline System (SAS) yang membawa saya menempuh satu setengah jam penerbangan dari Stockholm, Swedia, mendarat dengan mulus di Copenhagen Airport, Denmark. Tanpa perlu melalui pemeriksaan imigrasi lagi, saya melangkah keluar menuju hall utama Terminal 3, yang pagi itu sudah ramai oleh orang lalu lalang. Pesawat Singapore Airlines yang akan mengangkut saya menuju Singapura baru dijadwalkan terbang tujuh jam lagi. Saya memutuskan untuk jalan-jalan sejenak di pusat kota. Saya pun membeli tiket metro, lalu berjalan menuju stasiun metro yang tersambung dengan terminal bandara.

Hari ini 4 Oktober 2014. Apabila merujuk pada pelaksanaan wukuf oleh jamaah haji di Arafah, bertepatan dengan 10 Dzulhijjah 1435. Hari ketika kaum muslimin di berbagai penjuru dunia bersukacita dalam suasana hari raya Idul Adha. Saya merasa kali ini belum rezeki saya. Melewatkan hari raya di negeri antah-berantah sepuluh ribu kilometer dari Tanah Air, tanpa sesiapa yang dikenal. Saya tidak juga bisa menemukan informasi apakah saudara-saudara muslim di negeri kelahiran Hans Christian Andersen ini ber-Idul Adha pada tanggal 4 ataukah 5 Oktober. Sudahlah, saya angkat tangan. Biarlah Idul Adha tahun ini saya lalui sendirian, dengan “sekadar” merenungi ketaatan menyejarah yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam dan keluarganya.

Kereta metro melaju melewati daerah-daerah suburban Copenhagen yang nama-namanya terdengar aneh di telinga saya. Sering tidak nyambung antara ejaan dan pelafalan. Kastrup, Femøren, Amager Strand, Øresund, Lergravsparken, Amagerbro… Saya menyapukan pandang ke luar kaca jendela metro, menikmati pemandangan pagi akhir pekan di pinggiran Copenhagen. Jalan-jalan yang lengang, taman-taman yang tertata rapi, rumah-rumah penduduk yang berarsitektur unik dengan cerobong asap di atapnya…

Di salah satu stasiun, tiba-tiba saya menjumpai pemandangan di luar dugaan. Di peron, tampak serombongan muslimah berkerudung. Sebuah pemandangan langka di tanah tempat Ratu Margrethe II bertahta ini. Denmark bukanlah Inggris, Perancis, ataupun Jerman yang memiliki populasi muslim relatif besar. Sepengetahuan saya, penduduk muslim di Denmark sangat minoritas. Pemerintah negeri ini juga terbilang lebih restriktif terhadap imigran. Belum lagi xenofobia yang menghinggapi sebagian masyarakatnya. Masih segar di ingatan saya kisah kartun Jyllands-Posten yang menghebohkan beberapa tahun tahu.

Seorang pemuda berwajah Arab memasuki gerbong kereta, lalu menempati kursi tepat di depan saya. Ia mengenakan baju dan celana warna putih, lengkap dengan kafiyeh. Ia bersama seorang perempuan paruh baya berkerudung, yang dugaan saya adalah ibundanya. Mungkin mereka mau ke tempat shalat Id, pikir saya. Tanpa ragu saya menyapanya dan bertanya dalam bahasa Inggris.

“Assalamu’alaikum, Brother. Are you going to the Eid prayer? What time it starts?”

Ia menjawab ramah. “Wa’alaikumussalaam. Yes, Brother. The prayer starts at around 9 am.”

Saya pun cepat-cepat menceritakan kisah kemusafiran saya di ibukota Denmark ini dan mengutarakan keinginan saya untuk ikut shalat Id. Ia menyambut dengan tangan terbuka. “Okay then. Just follow me. We will do the prayer in a brand new masjid. We will disembark at Fasanvej station”.

Saya pun berterima kasih dan membiarkan pemuda berdarah Zanzibar itu bercakap dengan ibundanya. Saya tertegun melihat daerah-daerah yang dilalui kereta. Ya, saya sedikit khawatir. Saya hanya membawa peta pusat kota Copenhagen, yang tidak mencakup daerah Fasanvej. Saya belum sempat mencari informasi lengkap di internet tentang rute transportasi publik di kota transit ini. Bagaimana nanti, tanpa merepotkan anak muda yang baru saya kenal ini, saya bisa kembali ke bandara dan sampai di sana dua jam sebelum pesawat tujuan Singapura lepas landas?

Rupanya kekhawatiran saya terbaca oleh pemuda itu, yang kemudian saya tahu bernama Iyadh. “Don’t worry, Brother. I will take you there. Just follow me, and inshaallah I will take you back to the airport…” Saya lagi-lagi mengucap terima kasih dan mencoba menikmati perjalanan.

Dari stasiun Fasanvej, saya mengikuti Iyadh dan ibundanya menaiki bus menuju masjid tempat pelaksanaan shalat. Setelah melalui beberapa halte, penumpang bus ini akhirnya didominasi oleh kaum muslimin, kebanyakan berdarah Arab dan Asia Selatan. Sepertinya mayoritas muslim Denmark merayakan Idul Adha hari ini. Masyallah, saya tergetar melihat antusiasme dan sukacita mereka.

Turun dari bus, sambil menyapa rekan-rekan muslim yang dikenalnya, Brother Iyadh menjelaskan kepada saya rute dan transportasi yang harus saya gunakan untuk kembali ke bandara. Di halaman masjid, saya memutuskan berpamitan kepada Iyadh, karena ada kemungkinan saya tidak bisa mengikuti khutbah sampai selesai untuk mengejar penerbangan berikutnya. Kami berpisah setelah berjabat tangan erat dan saling mendoakan.

Suara lantunan takbir terdengar dari dalam masjid. Jamaah semakin ramai datang berbondong-bondong. Inilah Grand Mosque of Copenhagen, masjid terbaru di tanah Denmark yang dibangun dengan disponsori oleh pemerintah Qatar. Bagaikan sebuah prosesi penyambutan tamu, tampak beberapa orang panitia dengan jas rapi menyambut para jamaah yang datang, dan memandu jamaah mengambil tempat di dalam masjid. Mereka masih berusia demikian belia. Wajah mereka teduh, pembawaan mereka luar biasa ramah. Keramahan itu pula yang mereka tunjukkan kepada seorang wartawati kulit putih, yang turut datang ke masjid untuk meliput pelaksanaan shalat Id. Memang, ini bukan pertama kalinya saya berhari raya di sebuah negeri minoritas muslim, namun sensasinya tetap saja begitu terasa dan menggetarkan.

Setelah sekitar setengah jam saya bergabung dalam gemuruh takbir hari raya, shalat Id pun didirikan. Saya berdiri bersama ratusan jamaah, menghadap qiblat di arah tenggara. Lantunan surat Al-A’laa dan Al-Ghaasiyah sang imam mengalun merdu di tengah keheningan pagi akhir pekan di bumi Nordic ini.

Selepas shalat ditunaikan, dimulailah khutbah yang dibawakan dalam bahasa Arab. Ingin sekali rasanya mengikuti rangkaian ibadah Id ini hingga ke penghujungnya, namun apa daya saya tidak mempunyai banyak pilihan. Saya mengemasi tas punggung saya, lalu melangkah keluar.

Di depan masjid, saya terpekur mengingat kemudahan yang ditunjukkan-Nya kepada saya sepanjang pagi ini, hingga akhirnya saya bisa menginjakkan kaki di masjid ini. Di tepi jalan di seberang masjid, tampak berjajar pepohonan yang daunnya menguning menyambut datangnya musim gugur. Daun-daun yang berguguran memenuhi tepi badan jalan dan trotoar. Bagi saya, ini sungguh “petualangan” yang luar biasa. Alhamdulillah

Sambil melangkah pelan, saya menyapukan pandang ke arah masjid yang belum berusia setahun itu. Tampak demikian megah dengan menaranya yang menjulang tinggi, seolah menanti kedatangan dan partisipasi muslimin di tanah Skandinavia ini untuk senantiasa memakmurkannya. Di halaman masjid, terpancang sebuah tiang dan di puncaknya berkibar gagah Dannebrog, bendera kebanggaan Denmark yang berwarna merah darah dengan salib putih. Dalam hati saya berdoa, semoga kehadiran saudara-saudara muslim di negeri nun jauh di utara ini akan senantiasa menjadi sarana penebar rahmat. Bagi Denmark, bagi Eropa, bagi semesta…

[Gambar diambil dari sini]


Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Categories

%d bloggers like this: