Awal Desember ini, usia saya menyentuh angka empat puluh. Secara penanggalan Gregorian tentunya. Sebenarnya secara penanggalan Hijriah, sudah lebih dari setahun lalu saya genap empat puluh. Sehingga dalam setahun terakhir, saya telah merengkuh konsep bahwa saya ini sudah kepala empat. Awal Desember ini sekadar menegaskan bahwa saya akhirnya resmi empat puluh berdasarkan kedua versi kalender.
“Bagaimana rasanya menyentuh kepala empat, Mas?” tanya seorang kawan.
“Hmm… gak kaget sih, ‘kan bukan pertama kalinya berumur empat puluh. Lagipula aku berusaha embrace konsep growing old gracefully,” jawab saya (sok) yakin.
Life begins at forty, orang bilang. Tentu saja tiap individu punya persepsi dan perspektif berbeda-beda menyikapi pergantian usia dari kepala tiga menjadi kepala empat. Yang jelas, dari sebuah forum saya mendapat pengingat akan sebuah doa dan renungan yang terlampau penting untuk dilewatkan, terlebih ketika ia telah diabadikan Tuhan dalam sebuah ayat panjang.
“… sehingga apabila ia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia pun berdoa, ‘Duhai Tuhanku, ilhamkanlah daku supaya bersyukur akan nikmat-Mu yang telah Engkau kurniakan kepadaku dan kepada ibu-ayahku, dan supaya daku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada zuriatku. Sungguh daku bertaubat kepada Engkau dan sungguh daku termasuk kalangan insan yang berserah diri’.” [Quran Surah Al-Ahqaaf: 15]
Empat dasawarsa sudah saya menghirup udara dunia. Menengok episode yang telah berlalu, bersyukur dalam-dalam tentu menjadi sebuah kemestian. Ada begitu banyak karunia tak terbilang yang Tuhan limpahkan. Pada seusia ini, ada ibunda di kampung halaman yang sehat walafiat dan menjalani hari-hari dengan tenang. Ada belahan jiwa di sisi yang menjadi kawan setia menempuh perjalanan. Ada kerabat, sahabat, guru, dan mentor yang menjadi penguat dan penyemarak warna kehidupan, baik di masa senang maupun ketika badai menghadang. Pun saya dalam kondisi sehat dan semakin bugar, bahkan jika dibandingkan beberapa tahun silam. Belum lagi kemudahan, kegemilangan, capaian, dan petunjuk yang tak terbilang. Juga kesempatan yang beragam dan berulang untuk berkontribusi dalam kebaikan. Untuk semua ini, yang patut terucap adalah “Alhamdulillaah alladzii bini’matihi tatimmush shaalihaat”. Segala puji bagi Tuhan, yang dengan nikmatnya sempurnalah segenap kebaikan.
Layaknya kehidupan, tentu tidak semata hal menyenangkan sahaja yang terpampang di hadapan. Ada musibah dan ujian. Ada kehilangan, keterpurukan, dan kekalahan. Ada keinginan yang berujung kegagalan serta hasrat yang tidak tertakdirkan sebagai jalan. Ada cita-cita yang masih harus diperjuangkan serta hajat yang masih mesti diikhtiarkan. Segala warna kehidupan semacam ini tidak melulu menyenangkan untuk dilalui. Namun ada segudang pembelajaran yang menempa kualitas diri. Ada pengingat nyata bahwa diri tidaklah layak sama sekali untuk berbesar kepala dan tinggi hati. Untuk itu, yang terucap adalah “Alhamdulillaah ‘alaa kulli haal.” Segala puji bagi Tuhan atas segala keadaan.
Menyelami perjalanan kehidupan, barangkali pernah terbersit rasa “iri” melihat mereka yang masih segar dan prima di usia belia. Benarlah masa-masa muda adalah periode prima seorang manusia. Mereka menjalani keseharian yang dinamis dan ceria. Haus akan pengetahuan dan pengalaman. Bersemangat mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya untuk masa depan. Ambisi setinggi langit, seakan dunia dapat ditaklukkan dengan mudah dalam genggaman tangan.
Namun, bukankah saya sudah pernah melalui masa-masa seusia mereka, yang juga tak kalah menyenangkan? Boleh jadi ada secebis penyesalan karena ada hal-hal yang belum termanfaatkan dan teroptimalkan di usia belia dahulu. Tetapi saya tak lupa pula bahwa Tuhan telah mengizinkan saya menghirup napas kehidupan hingga sejauh ini serta meraih banyak hal. Dengan usia yang lebih senior dibandingkan kawan-kawan yang lebih muda itu, bukankah itu berarti saya telah punya lebih banyak perbekalan? Saya relatif lebih “mapan”, bukan semata soal kepemilikan perkara duniawi, namun lebih tentang bekal hidup, wisdom, dan pengalaman. Saya telah punya jalan dan peluang berkiprah yang lebih jelas. Tidak lagi terlalu dibayang-bayangi keinginan untuk membuktikan eksistensi diri ataupun keniscayaan untuk standing out from the crowd. Dan seterusnya.
Ada satu hal yang membuat saya geli sendiri. Dahulu kala, ketika saya masih berkisar seperempat abad, saya melihat senior-senior saya yang bahkan ketika masih berusia tiga puluhan pun sudah tampak dewasa dan bijaksana. Melihat diri sendiri, saya kok merasa masih pecicilan dan belum sedewasa mereka. Menclok ke sana kemari bagaikan masih perjaka, hehehe. Seakan in denial bahwa usia sudah tak lagi bisa dibilang belia. Di situlah Tuhan menampakkan untuk saya hal-hal yang tak terbantah lagi: perubahan fisik. Kerut-kerut di wajah, menipisnya rambut, menurunnya metabolisme, pinggang yang bagaikan dikepruk orang satu kecamatan setelah dipakai duduk terlalu lama, dan seterusnya. Suka tidak suka, konsep growing old menjadi sebuah hal yang niscaya untuk saya rengkuh.
Menghabiskan enam tahun di Negeri Kanguru, saya mengamati bagaimana orang-orang Australia melewati usia empat puluhan, lima puluhan, dan enam puluhan mereka. Banyak dari mereka yang saya lihat masih tegap dan bugar, gemar beraktivitas fisik di luar ruangan, dan lincah bergerak ke sana kemari. Seakan usia hanyalah sebuah angka. Dari mereka saya banyak belajar tentang growing old gracefully, meski tentu bukan tanpa catatan. Saya berhajat hari depan yang saya lalui (sepanjang Tuhan mengurniakan umur) tidak semata sehat-prima secara fisik dan pikiran, namun juga semakin matang secara spiritual dan lebih impactful secara pengaruh dan kontribusi.
Renungan empat puluh tahun ini saya tutup dengan sebentuk keyakinan, semangat, dan optimisme meniti jalan kehidupan ke depan. Menjalani sekian banyak peran dan amanat yang harus diemban. Living life to the fullest yang menjadi keharusan. Empat puluh, jelas termasuk kategori tua bagi kawan-kawan muda yang masih di rentang usia dua puluhan mereka. Namun saya menyadari sepenuhnya, usia empat puluh jelas masih tergolong muda di mata mereka yang telah memasuki periode lanjut usia. Sebuah hari baru yang dijalani, beriring napas yang masih mampu menghirup udara secara leluasa, adalah berarti kesempatan baru lagi yang diberikan Tuhan. Menjadi kewajiban saya untuk terus-menerus memperbanyak kebajikan, menebar kemanfaatan, dan mengumpulkan sebanyak mungkin bekal. Tidak semata untuk hari esok di muka bumi, namun juga untuk masa depan di kampung abadi nanti…
Leave a Reply