Posted by: Salim Darmadi | 19 December 2022

Terpesona Bungkus, Terlupa Esensi

Ketika ngobrol seru beberapa waktu lalu dengan beberapa kawan, saya teringat sebuah peristiwa di tahun 2014 silam. Waktu itu saya dan istri tengah mempersiapkan diri untuk menjalankan ibadah umrah. Biro perjalanan umroh kami pun mengundang calon jemaah untuk mengikuti kegiatan manasik (simulasi) umrah. Berkumpullah kami di sebuah masjid di kawasan Sentul, Bogor. Sebelum peragaan ritual umrah digelar, semua calon jemaah dikumpulkan terlebih dahulu di auditorium.

Seorang ustadz muda didapuk menyampaikan pembekalan rohani. Di awal ceramahnya, ditayangkannya sebuah video tentang perkembangan dan pengembangan area di sekitar Masjidil Haram di kota Mekkah. Gedung-pedung pencakar langit yang mentransformasi skyline kota suci tersebut, area pusat kota yang bermandikan cahaya di malam hari, berikut rencana pengembangan area Al-Haram di masa depan.

“Nah, bagaimana perasaan Bapak/Ibu sekalian melihat perkembangan kota Mekkah ini?” tanya sang ustadz setelah video tersebut berakhir.

Terdengar jawaban dari para calon jemaah, yang sebagian besar lebih senior daripada kami berdua, bersahut-sahutan.

Masyaallah… Luar biasa, Ustadz!”

“Terharuuu…”

“Kagum, Ustadz!”

“Bahagiaaa…”

Saya dan istri berpandangan. Kami nyengir. Rasanya pertanyaan sang ustadz tersebut bukan tipe pertanyaan yang bisa dijawab spontan apalagi secara singkat dalam satu-dua kata. To be frank, for me, some parts of the video are NOT something I would be looking for should I become a pilgrim faraway from home.

“Baik, Bapak/Ibu,” ujar sang ustadz kemudian. “Apabila kita demikian mudah terpana dengan pesona duniawi semacam itu, mari kita evaluasi diri. Barangkali kita telah terperangkap dalam tipu daya dunia…”

Jemaah yang tadi menjawab bersahut-sahutan sontak kaget dan langsung nyebut beramai-ramai, “Astaghfirullaahal ‘Azhiim…

Saya hanya bisa senyum simpul menyaksikan sepotong adegan tersebut. Bukan, bukan saya hendak menjatuhkan penilaian atau judgment ini-itu terhadap sebagian jemaah yang terburu-buru menjawab dengan lugu tadi. Alih-alih, sepenggal peristiwa tersebut sungguh layak menjadi bahan refleksi untuk saya. Untuk kami. Untuk mereka. Untuk kita semua…

Ya, barangkali kita (saya, ding!) cenderung mudah terpesona pada penampakan luar. Terlampau gampang terkagum-kagum pada kemasan dan “kulit”. Begitu mudah tergila-gila terhadap apa yang tampak di permukaan. Terlalu cepat mabuk kepayang ketika melihat bungkus yang memesona sedemikian rupa.

Dan pada saat yang sama, saya barangkali secepat itu pula melupakan substansi. Mengabaikan isi. Menafikan esensi. Menyepelekan intisari yang terbungkus oleh kemasan yang terlihat meyakinkan dan menawan hati. Meremehkan hakikat yang terbalut packaging berdaya tarik tinggi.

Tidak pula saya bermaksud mengatakan bahwa bungkus, format, dan penampakan luar itu semua sama sekali tidak penting. Dalam kasus tertentu, tampilan luar terkadang menjadi perkara penting. Namun, sering pula ada substansi atau esensi yang demikian krusial di baliknya; yang tidak sepatutnya diabaikan, dilupakan, atau bahkan dicampakkan begitu saja.

Tersebab gampangnya menggila-gilai bungkus dan mengabaikan hakikat, kerapkali ada akibat yang gawat dan tak tertanggungkan. Dan contohnya bertebaran di sekitar kita; tidak jauh dari jangkauan tangan. Atau bahkan mungkin kita sendiri pernah mengalaminya atau melihat contohnya dengan mata telanjang.

Kita bisa salah mengambil keputusan. Kita bisa keliru menjatuhkan pilihan dan menetapkan keberpihakan. Kita bisa terekspos kemungkinan menjadi korban disinformasi yang bertubi-tubi menyerang. Kita bisa terpuruk dalam kecewa ketika apa dan siapa yang dielu-elukan ternyata jauh dari harapan.

Kita bisa khilaf menetapkan standar. Kita berpotensi punya pemikiran dangkal ketika menentukan mana yang “keren” dan “tidak keren”. Kita bisa gagal menyikapi sebuah perkembangan secara tepat. Kita berpeluang latah mengikuti arus tanpa terbiasa menimbang-nimbang secara komprehensif dan mendalam.

Sebagian orang pun bahkan tidak mampu untuk sekadar mencari kebenaran, ataupun memverifikasi kabar yang beredar. Tidak terkecuali mereka yang menikmati privilege yang hanya dapat diakses kalangan terbatas. Bahkan mereka dengan titel-titel akademik mentereng dari perguruan tinggi di luar negeri sekalipun.

Sekilas dialog ustadz-jemaah di Sentul tersebut kembali menjadi wake-up call buat saya. Bahwa saya akan selalu punya dua pilihan di sana. Submissive begitu saja sehingga gampang terlalu dini terpesona atas apa-apa yang tampak di depan mata. Ataukah mendayagunakan karunia Tuhan berupa akal dan nurani untuk mengendapkan, merenungkan, dan menyikapi dengan baik segala fenomena dan dinamika…


Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Categories

%d bloggers like this: