Posted by: Salim Darmadi | 23 September 2022

Toleransi dan Narasi Friksi: Kisah dari Tanah Hindustan

Sambil menyapa si pengemudi, saya cepat-cepat masuk mobil Uber itu, yang menjemput persis di depan tempat tinggal kami di Campsie, barat daya Sydney. Pengemudinya berwajah Asia Selatan. Saya tidak ingat namanya, pokoknya semacam Vijay atau Kumar gitulah. Tentu bisa dengan mudah ditebak negara asalnya.

Begitu saya menutup pintu, mobil mulai melaju. Terdengar sebuah lagu yang diputar oleh si pengemudi di audio mobilnya. Irama, lirik, maupun musik lagu tersebut tidak berbeda dengan lagu-lagu bahasa Hindi di film-film Bollywood. Saya tidak keberatan, toh tidak terlalu mengganggu. Keinginan joget pun saya tahan, cukup jempol saja yang bergerak. 😅

Do you know this song?” Tiba-tiba si pengemudi bertanya kepada saya.

Saya berusaha menyimak liriknya. Tentu saja saya tidak mudeng. “Umm… sorry, I don’t know!”

Listen to the lyrics after this...”

Barulah ketika masuk bagian refrain lagu tersebut, terdengar kata “Subhanallah” berulang-ulang.

Ah, I see…,” seru saya. Tentu saja saya sangat familier dengan kalimat tasbih tersebut. Mungkin ini semacam nasyid atau lagu Islami dalam bahasa Hindi, pikir saya.

Si pengemudi tampak menikmati betapa surprised-nya saya. Dia tertawa lebar. “By the way, you’re a Muslim, right?”

Yes, I am!” sahut saya. Mungkin dia menebak dari nama depan saya.

And I guess, you’re a Hindu?” Sekarang gantian saya yang menebak.

Dia mengiyakan. “Yes, but I like this song!”

Saya cuma bisa bilang “I see” dan “Wow”.

Waktu itu awal tahun 2020. Ketika dari layar kaca ABC News berulangkali saya menyaksikan liputan berita tentang kerusuhan antarkelompok agama yang terjadi di ibu kota India.

I’m so sorry to hear what’s happening in Delhi right now,” ujar saya kemudian.

Sang driver tampak tersenyum kecut, “Yeah…”

Lalu dia bercerita panjang tentang keprihatinannya terhadap peristiwa berdarah di tanah kelahirannya itu. “You know, man. Thats all about politics. Because of those politicians!”

I have many friends in India, not only Hindus but also Muslims. We love to live peacefully with each other. And those politicians just ruin everything. I’m so tired of them, their narratives, the friction they instigate. And now, you can see the results of their behaviour!”

Obrolan kami berlanjut sepanjang perjalanan singkat itu, diiringi lagu “Subhanallah” yang masih terputar. Kelihatan sekali frustrasinya dia dengan apa yang tengah terjadi di negeri kelahirannya. Saya lebih banyak mendengar dan sesekali bertanya.

Perbincangan dengan pengemudi Uber dari Tanah Hindustan itu meninggalkan pelajaran berharga. Bahwa toleransi riil di tataran akar rumput bisa begitu saja dirusak oleh kalangan elite demi kepentingan politik mereka. Sesuatu yang masih saja terjadi di negeri Mahatma Gandhi itu hingga hari ini. Kalau sudah soal identitas, apalagi di sebuah negara berkembang yang kematangan berdemokrasinya masih-yah-begitulah, narasi semacam itu bisa dengan mudah ditelan mentah-mentah oleh banyak kalangan. Tak pelak, ketegangan antarelemen masyarakat pun meruncing.

Saya sendiri sebenarnya tidak keberatan dengan partai politik yang membawa nama agama apa pun, di negara mana pun. Toh kebebasan itu dijamin konstitusi di banyak negara demokratis. Namun kalau sebuah partai politik (apa pun aliran, ideologi, atau agamanya) goes too far, merusak harmoni, mengedepankan narasi pecah-belah, dan tidak peduli dengan kemudaratan yang meluas di tengah kehidupan berbangsa (apalagi ketika statusnya adalah partai penguasa!), then there must be something wrong!

Dan minggu ini saya mendapati berita tentang kerusuhan di Leicester, sebuah kota kecil di mana beberapa kawan saya pernah menempuh studi pascasarjana. Siapa sangka ideologi ultranasionalisme sayap kanan yang diamini oleh elite penguasa di New Delhi itu bisa menemukan tempat di tanah asing berjarak ribuan mil dari perbatasan India. Saya lalu menelusuri pandangan sejumlah pakar. Mereka umumnya sepakat bahwa dinamika sosial-politik di Negeri Hindustan turut menjadi salah satu faktor penting yang melatarbelakangi ketegangan antarkelompok agama di salah satu sudut Britania itu.

Alam terkembang menjadi guru. Kiranya rentetan peristiwa demi peristiwa ini dapat menjadi refleksi dan pelajaran berharga. Terlebih ketika kita semua ingin melihat dan menikmati sebuah harmoni di tengah masyarakat yang majemuk. Di tanah atau benua mana pun kaki berpijak…


Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Categories

%d bloggers like this: