Posted by: Salim Darmadi | 21 September 2022

Wisdom vs. Naïvety

Barangkali salah satu bentuk kenaifan manusia di zaman modern adalah terlampau gampangnya kita untuk terkagum-kagum dengan berbagai fenomena yang tampak memesona di depan mata. Terlebih di tengah sebuah era dengan kepungan pesona visual dari berbagai sudutnya. Tanpa mau menggali substansi; tanpa merasa perlu melongok esensi di balik hal yang membuat terpesona dan tergila-gila.

Sebuah video mengingatkan saya tentang salah satu contohnya. Bahwa fenomena tersebut menjadi semakin relevan direnungkan ketika, hari ini, kita yang berasal dari sebuah negara berkembang cenderung melihat bangsa Barat maupun peradaban Barat dengan kepala menengadah. Termasuk anak-anak bangsa yang tersebar di negeri-negeri mereka (di mana saya saat ini menjadi salah satunya), yang berkesempatan menyaksikan langsung peradaban mereka dari dekat.

Tak terbantahkan lagi, ada banyak inspirasi dan kebaikan yang dijumpai dan didapatkan. Bagaimana bangsa-bangsa itu menata negeri-negeri mereka, menyejahterakan masyarakatnya, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan memelopori arah kemajuan dunia di berbagai bidang. Namun mengamati dari dekat segala kemegahan, keeksotisan, dan kedigdayaan itu, tidak seharusnya saya menatapnya dengan terlampau naif alias lugu. Apalagi menafikan hal-hal penting nan substansial di baliknya. Misalnya, tentang fakta sejarah bahwa bangsa-bangsa itu pulalah yang pernah menjadi contoh terdepan dalam hal menjajah, merampas tanah orang lain dengan serakah, hingga menumpahkan darah.

Di sinilah diperlukan wisdom, hikmah, kebijaksanaan, kearifan. Agar diri dapat menyikapi sesuatu secara komprehensif dan mendalam. Agar akal dan nurani terdayagunakan sebenar-benar. Contoh yang disebutkan tadi hanyalah satu aspek sahaja. Pada akhirnya, wisdom menjadi satu bekal niscaya dalam menjalani seluruh aspek kehidupan. Sehingga diri punya prinsip dan pendirian yang tidak mudah remuk dihantam gelombang kenaifan.

Lalu apakah saya sudah punya wisdom dan kearifan tak terbantah? Tentu saya tidak akan berani sesumbar mengatakan sudah. Saya hanya bisa mencoba, terus belajar, dan mengambil pembelajaran dari berbagai arah.

Bukankah di depan kita contoh demi contoh tersaji dengan demikian gamblang? Bagaimana begitu banyak manusia mengesampingkan wisdom tatkala menjumpai sesuatu, kemudian mereka larut dalam ingar-bingar, hanya untuk akhirnya luruh dalam kemudaratan dan kekecewaan?

Ada yang terlampau lugu dan mudah larut dalam gegap-gempita ketika melihat sesosok figur melejit; ramai dipuja-puji oleh manusia dan media setinggi langit. Ada yang mabuk kepayang oleh godaan cuan, lalu dengan tak banyak pertimbangan menginvestasikan banyak uang yang di kemudian hari hilang begitu saja bak ditelan topan. Ada yang tidak merasa perlu mendayagunakan karunia akal budi; terbiasa langsung membagikan kabar kabur yang kebenarannya sama sekali jauh dari status terverifikasi.

Ada pula yang mewarisi “mental inlander“, merasa inferior di hadapan orang kulit putih serta terkagum-kagum terhadap paham dan kultur mereka, yang sebagiannya jelas-jelas menyalahi norma. Ada yang hilang daya nalar dan kritisnya kala membaca perkembangan terkini dan menyimak berita, padahal titel-titel akademis mentereng tersemat berderet-deret di belakang namanya. Dan seterusnya.

Karena itu saya lagi-lagi mengingatkan diri. Terlebih di tengah situasi yang dipenuhi segala hiruk-pikuk, gegap-gempita, dan ingar-bingar hari ini. Agar terus mengasah ‘wisdom’ dan kebijaksanaan itu tanpa henti. Menjaga hati tetap bersih, pikiran selalu jernih, dan prinsip senantiasa kukuh terpatri. Sehingga tak mudah dilamun ombak yang akan tega menenggelamkan siapa pun yang gagal mengayuh biduk wisdom dan terseret arus naïvety ke sana kemari…


Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Categories

%d bloggers like this: