Remaja belasan tahun itu risau teramat sangat. Satu hal yang demikian berat menggayuti pikirannya. Dia baru saja menamatkan pendidikan sekolah guru setingkat SLTP, dan bersiap menjalani ikatan dinas sebagai tenaga pendidik. Belum lama pula dia menerima keputusan dari yang berwenang tentang di mana ia akan bertugas. Selembar surat keputusan yang menyatakan bahwa tempat bertugas dia adalah di sebuah sekolah dasar negeri di pelosok Banyuwangi!
Waktu itu tahun 1956. Usia Republik masih begitu muda. Infrastruktur tentu masih sangat sederhana. Dari kampung halaman remaja itu di selatan Kediri, perjalanan ke Banyuwangi harus ditempuh selama dua hari penuh, dengan transit di Surabaya. Yang membuatnya risau, situasi sedang tidak menentu. Perkembangan politik dan ekonomi Republik cukup jauh dari kata stabil. Perekonomian keluarga pun belum terlampau mapan. Belum lagi kenyataan bahwa penghasilan yang diterimanya nanti sebagai guru akan sangat terbatas. Gaji bulanannya tidak akan banyak bersisa setelah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan buat seorang diri!
Kegalauannya memuncak. Haruskah dia berangkat ke sebuah desa nun jauh di ujung timur Pulau Jawa itu? Worth it-kah? Dia menatap nanar ke arah jalanan desa di depan rumah yang gelap tanpa penerangan. Segelap bayangannya akan perjalanan yang harus ditempuhnya ke depan.
Sang ayah seakan bisa membaca kerisauan putranya, yang terseok memulai fase dewasa perjalanan hidupnya. Diusapnya kepala dan punggung buah hatinya. Dihiburnya hati remaja itu, “Le, negoro iki ora saklawase koyo ngene!” Nak, tidak selamanya situasi negara akan seperti ini terus.
Titah tersebut turut menjadi penguat hati putranya. Tak lama kemudian, anak muda itu pun berpamitan kepada kedua orangtuanya. Merantau meninggalkan desa yang didiaminya semenjak lahir. Meski dengan segala berat hati. Dia berusaha memegang baik-baik petuah ayahnya. Dalam keadaan segelap apa pun, tetap optimis dan menaruh pengharapan menjadi keharusan!
Remaja itu pun menjalani takdirnya bertugas di pelosok Banyuwangi, dan hanya bisa setahun sekali pulang ke Kediri. Di satu hari di tahun 1960, dia menerima sebuah kabar mendesak via telegram. Ada kenyataan pahit yang harus didengarnya dalam keadaan jauh dari kampung halaman. Ayahnya, sosok yang selalu mengajarkan optimisme dan kerja keras itu, telah berpulang kepada Penciptanya. Dalam duka, pemuda yang belum genap dua puluh tahun itu cepat-cepat pulang ke kampung asalnya, yang baru akan bisa dicapainya dua hari kemudian.
Dua tokoh bapak-anak dalam kisah nyata di atas adalah kakek dan ayah saya. Mbahkakung memang berpulang dalam kondisi yang belum terlalu banyak berubah. Situasi politik-ekonomi Republik maupun kondisi ekonomi keluarga. Namun visi dan pesan optimismenya tidak lekang seiring bergantinya masa. Menjadi penyemangat sang anak untuk terus berjuang meniti jalan menuju pencapaian impian dan bentuk kehidupan yang dicita-citakan.
Sepeninggal Mbahkung, Bapak mengalami sendiri dan menyaksikan dinamisnya situasi negara, jauh berbeda dari dasawarsa 1950-an ketika Mbahkung menyampaikan pesan itu. Dari masa ke masa, dari orde ke orde, dari rezim ke rezim, masing-masing dengan segala kelebihan yang dinikmati dan tantangan yang harus dilalui. Apa pun itu tak bisa dimungkiri, stabilnya situasi dalam negeri memberikan lingkungan yang kondusif bagi ayah saya untuk memperbaiki ekonomi keluarga, lalu berumah tangga, membesarkan buah hatinya, dan memberikan bekal terbaik untuk masa depan mereka.
Pesan yang tersurat maupun tersirat dalam sebaris nasihat Mbahkakung itu pun tak lupa diteruskan oleh Bapak semasa hidupnya kepada kami, putra-putranya. Di satu sisi, pesan itu mengandung pelajaran untuk tidak berputus pengharapan. Dalam keadaan yang serba gelap dan sulit sekalipun. Bahwa keyakinan harus terpatri, ada segudang hikmah dan pelajaran di balik tantangan ataupun ujian yang tengah dihadapi. Bahwa ikhtiar terbaik harus menjadi teman dari doa yang dipanjatkan tanpa henti. Bahwa bersama kesulitan itu ada kemudahan yang mengiringi. Bahwa keputusasaan itu merupakan karakter orang-orang yang ingkar kepada Penguasa langit dan bumi.
Di sisi lain, pesan itu juga mengingatkan untuk pandai-pandai bersyukur. Bahwa apa-apa yang dapat saya nikmati hari ini (apakah itu hal-hal duniawi ataupun ilham dan petunjuk ilahi), yang tentu merupakan karunia dari Sang Maha Pemberi, boleh jadi ada peran besar para leluhur saleh yang tak lupa mendoakan kebaikan, serta tak putus menaruh pengharapan akan hari depan yang lebih baik, untuk zuriatnya yang akan lahir ke dunia di kemudian hari.
Hari ini saya menikmati sebuah pagi yang hangat, di salah satu taman tenang di sudut metropolitan Sydney. Langit biru, cuaca cerah, angin bertiup sepoi. Tidak ada lagi jaket atau pakaian tebal yang harus dikenakan di atas kaus tipis yang melekat di badan. Di kanan-kiri jalan setapak yang saya lalui, bunga-bunga aneka warna telah bermekaran, menguarkan aroma wangi semerbak. Sungguh pagi musim semi yang sempurna!
Untuk saya, seseorang yang tropis banget, musim semi terasa bak “surga” setelah tiga-empat bulan harus dilalui dengan pagi-pagi yang dingin menggigit. Menikmati hangatnya sinar mentari musim semi seperti ini, sebaris nasihat Mbahkung untuk ayah saya lebih dari enam dasawarsa lalu itu terasa begitu relevan. Musim dingin pasti akan berlalu, dan pada saatnya nanti musim semi yang hangat akan datang jua menyapa.
Mengenang kehidupan, perjuangan, dan nasihat berharga dari Mbahkung Dahlan yang sosoknya tidak pernah saya jumpa itu, ada titik-titik air bening yang menggenang di sudut mata. Dalam haru dan rindu, saya langitkan kembali Al-Fatihah dan bait-bait doa untuknya…
Leave a Reply