Bulan Februari lalu, saya memasuki tahun kedua studi doktoral saya di University of Technology Sydney, Australia. Seperempat perjalanan terlewati sudah. Rasanya belum lama saya pating gedabruk mempersiapkan keberangkatan ke Sydney. Malah waktu itu sempat pake acara psikosomatis segala. Endhas rasane ngelu plus weteng mules dihantui bermacam kekhawatiran.
Nanti bisa ndak ya saya mengikuti perkuliahan dan tuntutan riset yang tinggi? Dosen pembimbing saya nanti uwonge modelane koyo opo yo, tipe ngemong atau medeni? Nanti gimana saya menghadapi cacing-cacing ekonometrik (hehehe)? Piye iki mengupayakan dua pawon asapnya ngebul kabeh? Dan seterusnya. Mumet.
Dengan segala suka dan dukanya, alhamdulillah terlewati juga tahun pertama. Dulu saya waktu berburu beasiswa dan profesor itu biyuh semangate empat lima. Begitu beneran menjalani studi, pancen nano-nano tenan. Ndak bisa dibilang sepenuhnya mulus, tapi kemudahan demi kemudahan juga datang menghampiri. Alhamdulillah.
Meskipun ini memang cita-cita saya dari jaman kapan kae, bukan hal mudah untuk memutuskan sekolah lagi. Umur udah lewat 35 (isin ngaku milenial, hehehe), karier bakal “mandek” empat tahun, kudu menjalani pola keseharian yang berbeda di negara orang, dan banyak lagi. Tapi kalau ndak sekarang, kapan lagi? Saya harus sekolah lagi sebelum terlalu “mapan”, pikir saya. Mapan pakai tanda petik lho, ya.
Lha piye, di kantor saya dikelilingi oleh anggota tim yang luar biasa (in Jakarta I had them; lha neng Sydney arep ngongkon sopo?). Di rumah ada asisten yang tiap hari membantu kami, sampai saya lupa kapan terakhir kali korah-korah (jangan ditiru!). Di Sydney pastinya harus serba ditandangi sendiri. Begitulah, sebelum merasa terlalu nyaman dan cita-cita untuk sekolah lagi menjadi kabur, akhirnya bismillah wis, saya pun mabur lagi ke Benua Kanguru.
Di antara hal-hal yang saya pelajari di sini adalah bersiap dengan kejutan dan tantangan yang muncul di tengah jalan. Iyes, setiap mahasiswa PhD itu tantangannya berbeda-beda. Masing-masing punya cerita sendiri, kegemilangan sendiri, kendala sendiri. Orang mungkin melihat mereka (kami ding, as I’m already in the club) sebagai over-achiever. Padahal sakjane kami bergelut dan berjuang dengan aneka problematika sing kadang nggarai cenat-cenut. Ada saat-saat ketika merasa mentok njuk nelongso: What the heck am I doing here?
Mangkanya buat mahasiswa PhD, kewarasan adalah koentji. Mungkin Dulur pernah ngeliat produk-produk humor mahasiswa doktoral semacam PhD Comics, The Dissertation Coach, dan lainnya. Boleh jadi ada yang ngeliatnya begini, “Iki mahasiswa doktoral kok isine sambat terus? Ra mikir po’o capaian mereka itu adalah impian banyak orang?” Tapi saya justru melihat para pembikin humor itu bukan sambat, melainkan sekadar melakukan refleksi dan menertawakan diri sendiri. Itu cara mereka melepas stres sekaligus mengumpulkan motivasi yang terkadang ambyar. Dan tentu, menghibur mahasiswa doktoral lain yang sama-sama tengah berjuang.
Satu hal lagi. Betapa ketika menyelami samudra ilmu semakin dalam, saya semakin tersadar bahwa buanyak hal yang saya ndak tahu atau belum tahu. Mengingatkan saya bahwa saya ndak punya alasan untuk rumongso pinter njuk kemaki. Saya sering rumongso kok saya masih ndlongop begini ya, apalagi kalau berhadapan dengan para profesor yang kepintarannya sungguh intimidating, hahaha. Namun dengan berada di lingkungan yang mendukung seperti inilah, saya tertantang untuk bisa menjaga motivasi dan terus meningkatkan kapasitas diri.
Mengetahui saya bukan akademisi dan tidak berencana banting setir jadi akademisi penuh-waktu, ada aja yang nanya begini, “So why do you want to do a PhD?” Saya sudah menyiapkan jawaban taktis kalau ditanya semacam itu. Yah, meski itu jawaban yang normatif untuk menghindarkan diri dari kejaran pertanyaan lebih lanjut, hahaha.
Namun di balik jawaban normatif yang saya siapkan, pertanyaan di atas justru menjadi pengingat buat diri saya sendiri. Saya bisa berada di sini mungkin ada sedikit unsur mengejar ambisi pribadi, atau pengen escape sejenak setelah bergelut dengan kehidupan profesional yang keras (lebay, hehehe) selama delapan tahun semenjak pulang dari Brisbane. Namun … saya mengingatkan diri untuk meluruskan niat, serta memupuk karakter grit dan tahan banting.
Kiranya ikhtiar saya menuntut ilmu di negeri orang ini bisa tuntas secara gemilang dan tepat waktu. Berbuah ilmu yang berkah dan manfaat, untuk berbuat lebih baik dan lebih banyak lagi di masa mendatang. Dalam bentuk apa? Mbuh saya belum tahu persis. Masa depan masih serbagelap. Dan setidaknya, mendekati masa yang embuh-bakal-koyo-opo itu, saya terus mengumpulkan bekal… Pangestune dan saling mendoakan ya, Dulur.
—
Gambar [diambil dari sini]: Dr Chau Chak Wing Building, markas UTS Business School tempat saya ngantor hingga sekitar dua setengah tahun ke depan, insyaallah.
Leave a Reply