Posted by: Salim Darmadi | 31 August 2015

Sumbu Panjang Para Pengejar Mimpi

endurance“Mas Arfan dulu ambil IELTS sampai enam kali?” Saya terbelalak mendengar cerita Mas Arfan, rekan Indonesia saya yang sama-sama menempuh studi di Business School, University of Queensland (UQ).

Bahkan sebelum mendengarkan cerita lelaki itu mengenai perjuangannya untuk dapat diterima di program Master di kampus UQ, saya sudah menyimpan kekaguman padanya. Usia Mas Arfan lima belas tahun lebih tua dari saya, sudah berkeluarga dengan dua anak, namun hal itu tidak mengurangi semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Untuk dapat diterima sebagai mahasiswa program Master di UQ Business School, seorang pelamar harus mengantongi skor ujian International English Language Testing Systems (IELTS) sebesar minimal enam setengah. Di Tanah Air, biaya untuk mengikuti ujian IELTS juga tergolong mahal. Belum lagi berbagai persiapan yang menuntut calon seorang peserta ujian berusaha ekstrakeras agar dapat memperoleh skor setinggi-tingginya.

Sebelum resmi menjadi mahasiswa UQ, saya cukup satu kali saja mengikuti tes IELTS. Alhamdulillah, dari satu kali tes itu, saya berhasil memperoleh skor enam setengah, sudah mencukupi untuk mendaftar di UQ. Saya hanya perlu mengeluarkan uang untuk membeli buku persiapan IELTS, karena biaya mengikuti tes telah ditanggung oleh pemberi beasiswa.

“Ikut tes sampai enam kali itu ditanggung kantor, Mas?” tanya saya lagi. Mas Arfan memang memperoleh beasiswa pascasarjana dari institusi tempat ia bekerja di Jakarta.

Ia tertawa. “Yang dibiayain kantor cuma satu kali tes, Lim. Selebihnya ya harus bayar sendiri,” jelasnya, lagi-lagi membuat alis saya terangkat.

Kisah yang serupa dengan pengalaman Mas Arfan juga saya jumpai pada beberapa rekan yang saya kenal, khususnya sesama anak bangsa di tanah rantau. Tengok saja Mas Arif, yang di Tanah Air bekerja pada institusi yang sama dengan saya. Mas Arif akhirnya memenangkan beasiswa pascasarjana di Australia. Namun, yang membedakan dengan saya, prestasi itu baru dicapainya setelah gagal memperoleh beasiswa tersebut selama empat tahun berturut-turut. Benar-benar perjuangan yang panjang dan menguras energi!

Saya menjumpai semangat pantang menyerah itu juga pada sosok yang saya kenal pada semester terakhir saya di UQ. Pak Indra namanya. Lelaki berusia tiga puluhan tahun itu adalah mahasiswa baru program sarjana di kampus saya, mengambil jurusan keperawatan.

“Mas, boleh tahu latar belakang kuliah Bachelor di Australia?” tanya saya. Bagi saya, agak janggal membayangkan ada seseorang berusia matang seperti beliau memulai kuliah Bachelor tahun pertama dikelilingi rekan-rekannya yang baru berusia belasan tahun.

Darinya saya mendengar kisah panjang perjalanan hidup yang dilaluinya. Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di Tanah Air, ia melanjutkan pendidikan sarjananya di Amerika Serikat. Setelah lulus dan menyandang gelar insinyur, ia tetap tinggal di Negeri Paman Sam untuk bekerja dan membina rumah tangga.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Krisis finansial global, pada tahun 2008 yang berawal di Amerika Serikat, benar-benar mempengaruhi perjalanan karirnya. Setelah membangun karir bertahun-tahun, perusahaan tempatnya bekerja melakukan efisiensi pegawai. Dan ia pun menjadi objek pemutusan hubungan kerja. Meski dengan pengalaman profesional yang panjang, mencari pekerjaan baru di tengah masa krisis bukan persoalan gampang. Ia sempat menjadi pengangguran di negeri asing itu.

Setelah berpikir panjang, ia memutuskan banting setir keahlian, menimba ilmu di Benua Kanguru. Sebuah keputusan yang sungguh tidak mudah menurut saya, terlebih di usia dewasa ketika sudah berumah tangga. Ia mengambil jurusan keperawatan. Pilihan yang memang dilandasi pertimbangan praktis. Ya, perawat adalah profesi yang sangat dibutuhkan di Australia.

Mendengar penuturan tentang perjuangan panjang orang-orang di sekeliling saya dalam mencapai cita-cita, sungguh menyisakan pelajaran yang mendalam buat saya. Secara langsung maupun tidak langsung, saya merasa selalu diingatkan bahwa mimpi atau cita-cita adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Dan sungguh, bahwa tiap orang telah ditakdirkan untuk menempuh jalan yang berbeda-beda untuk sampai di titik ketika mimpi menjadi kenyataan.

Saya memang ditakdirkan untuk menempuh jalan yang terbilang lebih mudah dibandingkan rekan-rekan saya tersebut. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana di sebuah perguruan tinggi kedinasan, saya langsung diterima bekerja di salah satu institusi sektor publik. Satu setengah tahun bekerja, terbuka peluang bagi saya untuk mencari beasiswa. Sekali melamar beasiswa, saya lolos. Sekali mengikuti ujian IELTS, nilai saya mencukupi. Sekali mendaftar ke universitas Australia, saya diterima. Alhamdulillah, tentu menjadi kewajiban saya untuk selalu bersyukur atas rezeki dan kemudahan yang dilimpahkan Tuhan buat saya.

Karena itu, sungguh saya salut dengan perjuangan panjang para pengejar mimpi, yang banyak saya temukan di sekeliling saya. Di tengah keterbatasan dan kala menemui kegagalan, mereka tidak mengemukakan aneka dalih yang menjadi pembenaran. Justru mereka tak menyerah untuk berjuang dan berikhtiar, terus dan terus. Hingga akhirnya cita-cita itu tercapai, mimpi itu menjadi nyata. Mungkin seperti itulah yang disebut endurance, daya tahan dalam upaya mencapai sesuatu.

Saya membayangkan, jika seseorang mimpi hanya memiliki “sumbu” yang pendek, pasti ia akan mudah menyerah ketika gagal. Namun di mata saya, para pengejar mimpi sejati selalunya memiliki “sumbu” yang panjang. Motivasi yang tidak pudar, etos kerja yang tak lekang dimakan masa, semangat yang tidak terpatahkan, juga doa yang tiada putus-putus. Ketika mimpi itu akhirnya tercapai, ada kesyukuran yang berlipat di akhir perjuangan panjang. Bahkan, mereka juga memperoleh “bonus” berupa hikmah dan pembelajaran berharga dari ikhtiar mereka yang  begitu keras.

Mas Arfan dan Mas Arif pun demikian. Akhirnya mereka dapat memperoleh beasiswa yang didambakan, skor IELTS yang memenuhi harapan, dan diterima di kampus impian. Ketika menuntut ilmu Negeri Kanguru, mereka pun mengajak serta istri dan putra-putri mereka. Buah hati mereka yang sudah menginjak usia sekolah dasar juga turut mereguk pengalaman yang luar biasa. Mereka turut merasakan suka-duka tinggal di negeri orang, belajar bahasa setempat serta sistem kehidupan di sekitar mereka, meraih prestasi di sekolah, serta berupaya menjaga prinsip di tengah kondisi lingkungan yang kerap tidak sejalan dengan keyakinan.

***

Bulan Oktober, puncak musim mekarnya bunga jacaranda di Queensland bagian tenggara, termasuk di kota Brisbane. Dari flat yang hanya berjarak sepelemparan batu dari kampus UQ, terlihat pepohonan bertudung ungu yang terhampar di berbagai penjuru. Ketika mekar di musim semi, pohon jacaranda menggugurkan seluruh daun hijaunya. Sebagai gantinya, dari seluruh cabang dan rantingnya bermunculan bunga-bunga ungu. Sungguh sedap dipandang.

Di kalangan mahasiswa di Brisbane, puncak mekarnya jacaranda juga menjadi pengingat bahwa ujian akhir semester sudah di depan mata. Bahkan ada gurauan entah dari mana, apabila seorang mahasiswa kejatuhan bunga jacaranda dari pohonnya, itu pertanda bahwa ia akan tidak lulus ujian akhir.

Tiba-tiba momentum musim jacaranda mengingatkan saya pada hakikat endurance, daya tahan seorang anak manusia dalam memperjuangkan impian.

Tentu saya memohon kemudahan dalam menjalani beraneka urusan hidup, namun saya sadar bahwa kehidupan yang saya jalani tidak mungkin serba datar, mulus, dan mudah begitu saja. Terlebih ketika saya mengingat bahwa ujian dan cobaan adalah keniscayaan dalam hidup. Untuk memperoleh beasiswa dan skor IELTS, memang jalan yang saya tempuh demikian lancar dan nyaris tanpa hambatan. Namun, pada fase berikutnya, saya harus bersiap untuk sebuah perjuangan yang menguras sumber daya.

Menjalani semester-semester perkuliahan saya di perguruan tinggi papan atas dunia menuntut ikhtiar yang ekstra keras. Sekeras-kerasnya saya belajar ketika kuliah di Tanah Air, ternyata di Negeri Kanguru saya harus belajar lebih keras lagi. Ah, terkadang saya merasa “iri” dengan beberapa teman sekelas yang sepertinya demikian cepat menangkap materi kuliah dan memperoleh nilai tertinggi. Namun kemudian saya sadar, boleh jadi saya dan mereka harus menunjukkan derajat ikhtiar yang berbeda untuk bisa meraih impian yang sama. Serupa dengan kisah saya yang cukup sekali mencoba ujian IELTS, sementara Mas Arfan harus duduk di bangku tes hingga berkali-kali.

Dalam perjuangan menjalani studi di UQ, pertanyaan saya untuk diri sendiri adalah, “Seberapa lama saya bisa mempertahankan spirit dan daya juang dalam perjuangan mewujudkan mimpi?”

Bunga jacaranda lagi-lagi memberikan perumpamaan menarik. Awal Oktober, bunga-bunga ungu mulai bermekaran. Dan kemudian mencapai puncak mekarnya pada pertengahan hingga akhir Oktober. Apakah mekarnya bunga-bunga kecil itu berpanjangan? Sama sekali tidak. Bunga jacaranda demikian mudah gugur dari pohonnya. Ketika angin bertiup, ketika itu pula di sekeliling akar pohonnya terserak bunga-bunga yang berguguran. Musim mekar jacaranda juga terbilang singkat. Di pertengahan November, menjelang musim panas, si ungu molek itu sudah menghilang dari pepohonan dan kembali digantikan oleh rimbunnya daun yang menghijau.

Daya tahan seorang pengejar mimpi memang harus kokoh, dengan “sumbu” yang panjang. Ia tidak boleh serupa bunga jacaranda itu. Cantik memang, namun begitu mudah gugur diterpa angin, begitu mudah rontok ditelan pergantian musim…

[Gambar diambil dari sini]


Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Categories

%d bloggers like this: