Satu ketika, saya sengaja meluangkan waktu menikmati momen musim semi di Goodna, yang terletak sekitar lima belas kilometer dari Brisbane. Goodna adalah salah satu lokasi paling tepat untuk menikmati musim semi di Queensland bagian tenggara, terutama ketika sedang musim mekar jacaranda. Dari sebuah taman di tepian Sungai Brisbane, sejauh mata memandang, warna ungu bunga jacaranda memenuhi berbagai penjuru.
Tiba-tiba seekor anjing berlarian di sekitar bangku tempat saya duduk. Di kejauhan, si empunya anjing, seorang perempuan sekira separuh abad, tampak mengawasi. Anjing tersebut kemudian merunduk-runduk di bawah bangku saya. Saya berjengit, lalu perlahan menaikkan kedua kaki ke atas bangku.
“Excuse me…” seru saya kepada perempuan itu.
Perempuan itu bergeming, namun responsif terhadap komplain saya. “Are you scared? Don’t worry, he’s a good boy!”
“Yeah. I’m sorry…” saya menimpali, sekadar menunjukkan bahwa saya tidak berkenan jika anjing itu berada di dekat saya. Sepengetahuan saya, pemilik anjing harus selalu menuntun anjingnya jika berada di area publik, tentu dengan tujuan agar si anjing tidak mengganggu orang lain. Dengan sigap, perempuan itu memanggil anjingnya. Si anjing, yang tentu sudah sangat mengenal suara si empunya, berlari menghampiri sumber suara itu. Saya mengangguk pada perempuan itu, sebagai tanda terima kasih.
Kisah antara saya dan seorang pemilik anjing di Goodna hanyalah satu dari banyak cerita yang pernah saya alami, yang menunjukkan perbedaan persepsi antara saya dan orang lain. Perbedaan persepsi itu sepertinya muncul karena perbedaan latar belakang dari masing-masing pihak yang terlibat. Bisa jadi perbedaan budaya, perbedaan lingkungan di mana masing-masing dibesarkan, atau bisa juga karena perbedaan keyakinan.
Masa kecil saya lewatkan di lingkungan dengan tradisi keislaman dan Nahdliyyin yang kental. Dari pelajaran sekolah, nasihat, maupun perbincangan dengan kawan-kawan kecil saya, salah satu pelajaran yang terserap di benak saya adalah bahwa anjing merupakan binatang najis, sehingga saya tidak boleh dekat-dekat dengannya. Apabila terkena anjing, bahkan hukumnya jatuh menjadi najis berat yang untuk menyucikannya harus dibasuh dengan air sebanyak tujuh kali dan salah satunya dicampur dengan tanah.
Hal ini diperkuat oleh lingkungan desa tempat tinggal saya yang afiliasi keagamaan masyarakatnya demikian homogen. Anjing sebagai binatang peliharaan menjadi sesuatu yang amat jarang. Lama kelamaan, yang terpatri di benak saya adalah bahwa anjing itu binatang galak, sehingga saya ketakutan kalau harus berpapasan dengan anjing. Ketika duduk di sekolah menengah atas, saya tinggal di rumah indekos yang pemiliknya memelihara seekor anjing. Ternyata si anjing perlu waktu untuk mengenal saya. Walhasil, ketika saya mempercepat langkah untuk menghindar, anjing kesayangan keluarga pemilik indekos itu justru mengejar saya sambil mengeluarkan gonggongan nyaring.
Lambat laun, setelah semakin lama terbiasa dengan lingkungan yang heterogen, saya pun memahami bahwa perspektif orang dalam memandang sesuatu memang tidak bisa disamakan begitu saja. Saya tetap tidak bisa berada dekat dengan anjing, namun tidak lagi ketakutan ketika berpapasan dengan anjing. Saya pun bisa menghargai perspektif orang yang berbeda-beda terhadap anjing, termasuk mereka yang menjadikan anjing sebagai “anggota keluarga” di rumah mereka. Tentu saja, ketika ada anjing yang nyelonong memasuki “zona keamanan” saya, sebagaimana yang saya alami di Goodna, saya akan menyampaikan keberatan saya kepada si empunya dengan cara yang elegan.
Sebenarnya, perbedaan-perbedaan semacam ini dalam banyak hal justru membuat saya semakin kaya. Saya tidak bisa membayangkan apabila seluruh orang di suatu wilayah memiliki kesamaan preferensi dan persepsi dalam terlalu banyak hal. Mungkin tidak ada kebutuhan untuk saling berinteraksi, saling mendukung, berdiskusi, atau mendayagunakan pemikiran untuk mewujudkan suasana yang nyaman bagi semua. Kesediaan menerima perspektif berbeda ini menjadi senjata ampuh manakala saya harus hijrah atau tinggal dalam waktu cukup lama di tempat baru, dengan probalilitas perbedaan persepsi yang lebih besar. Tentu, saya harus tetap berpegang teguh pada hal-hal yang prinsipil bagi saya, dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu sesuai kondisi yang ada.
Saya teringat salah satu matakuliah yang saya ambil di University of Queensland. Kelas itu diikuti oleh sekitar tiga puluh orang mahasiswa dari tingkat sarjana hingga doktoral, dengan proporsi relatif seimbang antara mahasiswa Australia dengan mahasiswa asing. Sang dosen, yang berbicara dengan aksen Australian English yang kental, sebenarnya sosok humoris. Mungkin dengan maksud agar mahasiswanya tetap berkonsentrasi dan sekadar penyegaran, berulangkali ia melontarkan gurauan di kelas.
Setiap kali ia menyampaikan suatu candaan atau cerita humor, selalunya disambut tawa membahana dari para mahasiswa Australia, bahkan terkadang dengan tawa tergelak-gelak. Sementara saya dan beberapa rekan mahasiswa Indonesia saling berpandangan dengan dahi berkerut. Pikir kami, di mana letak lucunya?
Bahkan persepsi mengenai apa yang lucu dan apa yang tidak lucu pun bisa berbeda. Saya sungguh tidak bisa menangkap candaan yang dilontarkan oleh sang dosen. Saya melihat sebagian mahasiswa asing turut tertawa, entah apakah mereka memang memahami kelucuan di balik candaan sang dosen, atau karena sekadar mengikut arus tawa membahana di ruang kelas. Saya dan rekan-rekan Indonesia juga tertawa, namun menertawai “kebodohan” kami yang tidak bisa menangkap maksud gurauan itu.
Makanan, salah satu kebutuhan manusia paling mendasar, juga mengundang perbedaan persepsi. Pernah saya berbincang dengan sejumlah staf universitas dalam suatu sesi makan siang bersama. Obrolan kami juga menyinggung soal masakan Australia dan masakan Asia.
“In my opinion, Australian foods are quite plain, not ‘greasy’ like Asian foods,” ujar saya, mengomentari masakan Australia yang rasanya terbilang “tawar” dibandingkan masakan Asia yang kaya akan rempah dan bumbu. Saya sempat heran mengapa sebuah restoran fish and chips (yang hanya terdiri dari kentang goreng, ikan goreng, dan saus tomat!) yang terletak di seberang flat saya hampir selalu ramai pengunjung, yang kebanyakan orang kulit putih Australia.
“Yes, I agree. I like Asian foods,” demikian respons salah satu dari mereka. Ia menceritakan kebiasaannya mencoba restoran-restoran Asia yang tersebar di berbagai penjuru Brisbane. Kadang ia juga mempraktikkan resep masakan Asia di rumah.
Dengan tingkat multikulturalisme yang tinggi, masyarakat kulit putih Australia menikmati pengalaman kuliner yang lebih berwarna seiring menjamurnya restoran-restoran Asia di negeri ini. Perspektif mereka akan makanan yang bisa dinikmati pun terbuka, tidak terbatas pada makanan-makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat Australia. Demikian juga dengan saya. Setelah tinggal lama di Australia, saya tidak lagi menjadikan nasi sebagai menu yang wajib dikonsumsi tiap hari.
Dalam banyak hal, perbedaan persepsi akan membuka perspektif dan menambah pengalaman. Kekaguman, keheranan, maupun kelucuan yang timbul dari perbedaan itu justru membuat sudut pandang seseorang semakin kaya.
[Gambar diambil dari sini]
Leave a Reply