Posted by: Salim Darmadi | 24 July 2019

Kenangan Bersama Bapak

Kurang lebih 25 tahun lalu, dalam pikiran polos kanak-kanak saya, tidak terbayangkan hidup tanpa curahan kasih-sayang kedua orangtua. Karena itu, saya turut merasakan duka yang sangat kala bertakziah ke kerabat atau teman sekolah yang ditinggal selama-lamanya oleh orangtua mereka dalam usia mereka yang teramat belia. Saya merasa takut sekali kehilangan orangtua. Saya pun mulai mendaras doa banyak-banyak setiap usai shalat agar Bapak dan Ibuk dikaruniai-Nya panjang umur; agar dapat mengiringi perjalanan hidup kami, putra-putra mereka, hingga kami dewasa.

Alhamdulillah, Bapak dianugerahi umur yang terbilang panjang. Dalam rentang 78 tahun yang beliau lalui di dunia, beliau melalui berbagai kisah. Masa-masa pergolakan sebelum dan sesudah kemerdekaan di tahun 1940-an. Zaman kesulitan ekonomi dan memulai awal karier sebagai guru di tahun 1950-an. Masa-masa meruncingnya gesekan antarelemen bangsa di tahun 1960-an. Zaman ketika kehidupan bernegara mulai stabil di tahun 1970-an, ketika beliau mulai berumah-tangga dan juga mengampu amanat sebagai kepala desa hingga hampir dua dasawarsa kemudian. Kemudian masa pasca-Reformasi, ketika kelima putra beliau satu persatu beranjak dewasa dan menentukan arah kehidupan masing-masing.

Kami melihat dengan mata kepala sendiri sepak-terjang Bapak. Bahkan sejak beliau undur diri dari jabatan kepala desa, keaktifannya dalam berbagai kegiatan sosial-kemasyarakatan tidak berkurang. Selain mengelola lahan perkebunan milik keluarga besar kami, Bapak menjadi ketua takmir masjid, mengetuai sebuah koperasi, giat di jam’iyah, memenuhi undangan ceramah di sana-sini, dan sederet aktivitas keorganisasian lainnya. Di rumah, Bapak memiliki hubungan yang dekat dengan semua anaknya. Beliau tak pernah lupa menanyakan aktivitas kami, memotivasi kami, mendoakan kami, dan bertukar cerita tentang banyak hal.

Boleh jadi, gaya parenting Bapak ketika kami kanak-kanak mungkin terbilang “feodal” dan tidak sepenuhnya ideal dalam kacamata parenting modern. Namun hal itu seakan tertutupi oleh rasa tanggung jawab dan daya motivasi beliau yang besar. Kehadiran sosok ayah, yang menjadi pelita dan sumber inspirasi, benar-benar kami rasakan. Apresiasi beliau akan capaian-capaian yang berhasil kami raih sulit kami lupakan. Sebagai figur yang dituakan di keluarga besar, masyarakat, maupun komunitas, sejak kecil kami tak heran nyaris setiap hari ada saja tamu yang datang ke rumah, bermaksud bertemu Bapak untuk berbagai keperluan berbeda.

Ketika kami beranjak dewasa, Bapak berubah menjadi sosok yang sangat “demokratis”. Anak-anaknya bebas membuat pilihan dan mengambil keputusan penting terkait jalan kehidupan masing-masing. Istilah beliau: “diculne ndhase, dicekeli buntute” (dilepas kepalanya, dipegang ekornya). Kedekatan emosional antara beliau dan kami tetap terjaga, meski kadangkala kami mengambil pendapat yang berbeda dengan beliau, misalnya terkait tanggal berhari raya atau pilihan politik ketika pemilu, hehehe. Satu persatu anaknya merantau, meninggalkan kampung halaman. Pesan beliau yang kami juga tak lupa, “Peliharalah rasa rindu untuk pulang! Peliharalah rasa rindu kepada Bapak dan Ibuk!”

***

Ada hal-hal yang berubah seiring bergantinya zaman. Kesehatan Bapak mengalami penurunan mulai awal 2017. Pernah sekali Bapak berkata, “Fisik Bapak semakin rapuh, karena memang dimakan usia!” Saya, sebagaimana abang-adik saya, pun tahu diri untuk beradaptasi dengan kondisi Bapak yang demikian. Bapak yang waktu kami kecil dulu biasa mengajak kami bersepeda motor keliling desa, kini untuk berjalan pun beliau sudah semakin lemah. Dulu kami biasa bercerita apa saja kepada beliau, kini kami mengontrol apa yang hendak kami sampaikan kepada Bapak. Namun ada hal-hal tidak berubah dari Bapak. Setia menantikan kepulangan dan kontak telepon dari anak-anaknya. Mendoakan kami. Bertanya tentang aktivitas kami. Ikhtiar untuk kesehatan Bapak pun tetap kami upayakan.

Awal tahun 2019, saya memulai perjalanan pendidikan doktoral saya di Sydney (kota yang saya pilih karena—selain ada akademisi University of Technology Sydney yang bersedia membimbing saya—relatif dekat dengan Tanah Air sehingga saya bisa sering-sering mudik dan sowan orangtua). Minggu-minggu pertama di kota ini tidak sepenuhnya mudah buat saya. Tiga hari setelah saya menginjakkan kaki di Sydney, Ibuk masuk rumah sakit. Memasuki bulan kedua, giliran Bapak masuk rumah sakit. Berulang kali saya mengontak abang-adik saya dalam kerisauan yang sangat. Saya berada lima ribu kilometer dari kampung halaman. Tidak bisa berada di samping orangtua, ketika beliau berdua dalam perawatan medis, menjadi kenyataan menyesakkan yang harus saya hadapi. Namun, dukungan keluarga menguatkan saya. Tetap fokus menjalani studi; doakan Bapak dan Ibuk; jangan khawatir, keluarga di Tanah Air akan mendampingi Bapak dan Ibuk.

Satu ketika, di sebuah grup Whatsapp yang beranggotakan kawan-kawan sekantor, kami berbincang tentang perawatan kesehatan untuk orangtua yang semakin sepuh. Jari-jari saya sibuk mengetik dalam obrolan Whatsapp, tapi air mata saya mengalir deras. Saya teringat Bapak dan Ibuk nun jauh di kampung halaman.  Saya lantas men-japri salah seorang kawan, yang kedua orangtuanya telah berpulang. Saya tidak bisa menahan sebak. Saya bertanya kepadanya, “How painful was it when you lost your parents? Gue paham setiap jiwa akan mati, tapi gue belum siap…

Kawan saya menjawab apa yang memang dirasakannya saat itu, “Felt like the world’s colliding; unreal, but it’s happening!” Namun tak lupa dia membesarkan hati saya, “Anytime you have the chance, let them know you love them… Always!”

***

Pagi itu hari ketiga Ramadhan 1440 H. Saya memutuskan tidak masuk kuliah karena merasa kurang enak badan. Kemudian datang sebuah kabar dari Tanah Air. Sebuah kabar yang sejujurnya sangat saya takutkan. Bapak kritis dan dirawat di High Care Unit (HCU) RSUD Gambiran di Kota Kediri!

Saya tergugu lama di kamar. Kerisauan menggelayuti pikiran. Benak saya dibayangi ketakutan-ketakutan. Salah satu kekhawatiran terbesar saya adalah jika saya tidak berada di sisi Bapak saat beliau kritis. Jujur, saya belum siap jika saatnya Bapak tiba. Akhirnya saya mendapatkan tiket untuk pulang ke Tanah Air siang itu juga. Lalu saya berkemas dan meluncur menuju Kingsford Smith; mengejar QF41 dan terbang ke negeri kelahiran.

Dari Bandara Juanda, saya memutuskan untuk langsung menuju RSUD Gambiran, Kota Kediri, tempat Bapak dirawat. Saya menarik napas lega ketika mengetahui kondisi Bapak semakin stabil dan beliau dalam keadaan sadar. Bapak masih bisa mengobrol dan bergurau; bahkan melontarkan pertanyaan kepada keluarga pasien HCU di samping kanan-kiri beliau.

Melihat saya dan Ratri datang, Bapak menitikkan air mata haru. Kami pun berbincang. Saya jawab satu persatu pertanyaan beliau, “Jadi sudah berapa lama di Ostrali? Di sana mengerjakan apa saja?”

Setelah dua malam di HCU, Bapak lalu dipindahkan ke kamar rawat inap. Saya dan abang-adik serta saudari-saudari ipar bergantian menjaga Bapak. Meskipun sudah keluar dari HCU, kondisi Bapak masih prihatin. Kesadaran dan ingatan beliau cenderung menurun.

Iki sopo?” tanya Bapak jika merasakan ada seseorang berdiri di samping tempat tidur. Pandangan yang kabur membuat beliau perlu memastikan siapa yang ada di sisi beliau.

“Adi, Pak,” jawab saya, menyebut nama panggilan saya di keluarga.

Dielusnya kepala saya dengan tangan yang gerakannya makin melemah. “Iki Adi putrane Bapak? Tenan ta? Ora ngapusi?”

Saya menahan sebak. “Mboten, Pak. Niki saestu Adi putrane Bapak.” Dalam hati saya sungguh bersyukur, masih sempat bertemu Bapak sehari sebelumnya kala beliau dalam keadaan sadar penuh. Dalam kondisi yang lemah seperti itu, alhamdulillah Bapak bisa merespons jika kami memintanya berdzikir dan beristighfar; atau kala kami memperdengarkan lantunan murattal untuk beliau.

Perkembangan Bapak belum terlalu bagus. Dengan berat hati saya berpamitan kepada Ibuk dan abang-adik untuk kembali ke Sydney. Saya masih menyimpan harap bahwa kondisi Bapak akan semakin pulih. Saya dan abang-adik akan terus mengikhtiarkan dan mendoakan yang terbaik untuk kesembuhan Bapak.

Saya tidak menyangka, begitu saya menginjakkan kaki lagi di kota terbesar di Negeri Kanguru ini, Bapak kembali kritis. Kali ini, organ-organ vital beliau, termasuk jantung, dalam pemantauan intensif.

***

Pagi itu hari kesepuluh Ramadhan 1440 H. Kereta api Sydney Trains yang membawa saya menuju City Circle baru melaju sekitar sepuluh menit dari kawasan tempat saya tinggal di Lakemba, ketika serangkaian pesan Whatsapp masuk ke ponsel saya. Dari kakak kembar, kakak ipar, dan istri saya.

Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Telah berpulang ke rahmatullah ayahanda kita, Bapak H. Maksum bin Dahlan pada pagi ini Rabu, 10 Ramadhan 1440 H / 15 Mei 2019 pukul 05.05 WIB. Semoga almarhum beroleh ampunan dan amal baiknya diterima di sisi Allah SWT. Aamiin YRA.”

Seketika saya terhenyak. Air bening menggenangi mata saya. Terlebih ketika menyadari bahwa saya tidak bisa melakukan apa pun karena ada jarak membentang sejauh lima ribu kilometer antara saya dan kampung halaman. Ada rasa tak percaya bahwa Bapak telah meninggalkan kami selama-lamanya.

Dengan hubungan emosional yang dekat, anak mana yang tidak ingin mendekap jasad ayahnya untuk terakhir kali, turut memandikan jenazah, bergabung dalam shaf-shaf shalat jenazah, dan melepas kepergian ayahnya? Namun, saya sadar ada tuntunan untuk menyegerakan pengurusan dan pemakaman jenazah. Saya pun menyampaikan kepada saudara-saudara saya bahwa pengurusan dan pemakaman jenazah Bapak tidak perlu menunggu saya tiba di Kediri.

Siang itu juga, persis seperti seminggu sebelumnya, saya kembali meluncur ke Kingsford Smith, mengejar QF41 yang membawa saya menuju Tanah Air.

***

Matahari belum tinggi ketika saya dan Ratri tiba di pemakaman di ujung desa. Hamparan perkebunan tebu tampak mengitari pemakaman, ditingkahi angin yang bertiup sepoi.

Saya terpekur di gundukan tanah itu. Di batu nisannya tertulis nama Bapak. Berdekatan dengan makam Mbahkung K.H. Abu Syuja’ dan para Mbahputri saya (rahimahumullah). Sudah hampir dua puluh empat jam berlalu sejak dilangsungkannya prosesi pemakaman jenazah Bapak di sini. Dengan mata yang basah, saya daraskan Al-Fatihah dan doa-doa untuk Bapak, yang kini jasadnya telah berkalang tanah.

Ada duka teramat sangat yang saya rasakan. Berbagai kenangan manis semasa Bapak masih hidup berkelebat di benak saya. Benarlah sebuah kalimat yang pernah saya baca, “the pain of losing a parent is real”. Bapak memang berpulang kepada Rabb-nya ketika saya sudah memasuki usia dewasa dan mandiri, namun tetap saja rasa kehilangan itu demikian mendalam.

Saya tergugu pilu. Namun saya mengingatkan diri sendiri, bahwa saya harus bersabar menerima ketetapan-Nya dan mengikhlaskan kepergian Bapak. Saya lantas teringat pesan Bapak ketika saya terpukul karena gagal meraih sesuatu sepuluh tahun lalu, “Jangan terlalu larut dalam kesedihan!” Nasihat yang terasa sangat relevan saat ini, ketika saya berkabung atas kepergian Bapak.

Dihadapkan pada kehilangan sosok Bapak, saya tidak boleh memperturutkan perasaan duka semata. Iman dan logika harus pula bermain di sini. Ada sejumlah peran dan tanggung jawab yang masih harus saya tunaikan di perjalanan kehidupan yang tersisa. Masih ada sosok Ibuk yang harus kami hormati dan kami jaga; tempat kami mencari restu dan mencurahkan bakti. Tak kalah penting, ada tugas saya dan abang-adik untuk menjadi anak-anak saleh yang selalu mendoakan kedua orangtua kami, sehingga menjadi investasi amal kebaikan Bapak yang pahalanya akan terus mengalir untuk beliau. Kala ia tak lagi membersamai kami di dunia ini. Ketika kedekatan dan kebersamaan dengan beliau tinggal kenangan kini.

Saya bangkit, lalu saya taburkan bunga-bunga segar di makam ayahanda kami. Sugeng tindak, Bapak. Mugi Gusti Allah tansah paring ridho, rahmat, lan maghfirah kagem panjenengan

 

[Mengenang ayahanda kami tercinta, H. Maksum bin Dahlan, 1941-2019]


Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Categories

%d bloggers like this: